Tuesday, June 8, 2010

Ilmu-Ilmu Al-Qur'an

‘Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an

Kajian tentang Al-Qur’an memerlukan banyak ragam ilmu, yang disebut sebagai ‘ulumul Qur’an (Ilmu-ilmu Al-Qur’an). Menghormati adanya ilmu-ilmu tersebut dan para ahlinya sangatlah penting agar kita tidak terjatuh kedalam kesalahan dan bahkan penyimpangan ketika berusaha memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Ini sangat penting teutama di zaman sekarang ini dimana pemahaman kebanyakan masyarakat muslim, bahkan yang biasa disebut sebagai kalangan terpelajar, terhadap agamanya sangatlah lemah. Bahkan dalam hal-hal yang sangat mendasar dan aksiomatik telah terjadi penjungkirbalikan pemahaman dari yang semestinya.
Dalam  mengkaji makna ayat-ayat Al-Qur’an, kita harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang telah diakui, sehingga kita akan mendapakan pemahaman yang benar dan tidak terjatuh kedalam kesalahan dan penyimpangan pemahaman. Sebaliknya, kita juga tidak boleh jatuh kedalam fobia atau ketakutan yang berlebihan intuk dekat dengan Al-Qur’an dan senantiasa berusaha untuk memahaminya, sehingga tidak berusaha untuk mempelajari kendungannya yang amat luas dan dalam kecuali sekedar membacanya saja.
  1. Ilmu Tajwid dan Tilawah
  2. Ilmu Tafsir :
    • Sejarah perkembangan ilmu tafsir
    • Macam-macam atau jenis-jenis tafsir
    • Metodologi/ kaidah-kaidah dan rambu-rambu dalam menafsirkan Al-Qur’an
    • Syarat-syarat seorang mufassir
    • Para ulama tafsir
    • Kitab-kitab tafsir
  3. Ilmu Sejarah Al-Qur’an
  4. Ilmu Qiro’at (versi-versi bacaan Al-Qur’an)
  5. Ilmu Asbabun Nuzul (latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an)
  6. Ilmu Nasikh dan Mansukh
  7. Ilmu Muhkam dan Mutasyabih
  8. Ilmu ‘Am dan Khash
  9. Ilmu Muthlaq dan Muqayyad
  10. Ilmu Manthuq dan Mafhum
  11. Ilmu Makki dan Madani
  12. Ilmu I’jaz Al-Qur’an  (kemukjizatan Al-Qur’an)
  13. Ilmu Amtsal Al-Qur’an  (perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an)
  14. Ilmu Aqsam Al-Qur’an  (sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an)
  15. Ilmu Jadal Al-Qur’an (perdebatan-perdebatan dalam Al-Qur’an)
  16. Ilmu Qashash Al-Qur’an (kisah-kisah dalam Al-Qur’an)
  17. Ilmu Terjemah Al-Qur’an 
Sumber : http://www.quranpoin.com/memahami-al-quran/ulumul-quran-ilmu-ilmu-al-quran/

Ilmu Al-Qur'an

Ulumul Qur’an













Ditinjau dari segi bahasa, perkataan Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu: ‘ulum dan Qur’an”. Kata Ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilm yang berrti ilmu-ilmu. Sedangkan al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Atau keterangan lain menyebutkan al-Qur’an mengandung arti: ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an baik dari segi keberadaannya maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.












Secara istilah para ulama telah merumuskan berbagai definisi Ulumul Qur’an, diantarnya al-Zarqoni dalam kitabnya Manahil al-Irfan menjelaskan :


Atinya : bebrapa pembahsan yang berhuungan dengan Al-Qur’an al-Karim dari segi turunnya, urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemukjijatannya, nasikh dan mansukhnya, penolakan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan karaguan terhadapnya dan sebagainya.





Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an


Hasby As-Shidiqy dalam bukunya “sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir mengandung segalam macam pembahasan Ulumul Qur’an kembali kepada beberapa pokok persoalan saja, yaitu:


1. Persoalan Nuzul, yaitu menyangkut: ayat-ayat Maqiyah dan Madaniyah, ayat-ayat Hadhariyah (ketika Nabi berada di kampong), ayat-ayqat shafariyah (ketika Nabi berada dalam perjalanan), ayat-ayat Nahariyah (diturunkan siang hari.


2. Persoalan sanad, yaitu menyangkut sanad yang mutawatir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at Nabi dan cara Tahamul (penerimaan riwayat)


3. Persoalan-persoalan yang menyangkut cara membaca al-Qur’an , seperti: waqf, ibtida’, imalah, mad, takhfif hamzah, idgham dsb.


4. Persoalan yang menyangkut lafadz al-Qur’an seperti: gharib, mu’rab, mjaz, musytaraq, muradif, isti’arah dan tasybuh.


5. Persoalan yang menyangkut makna al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum seperti lafadz ‘am dengan segala bentuknya, khas, nash, dzahir, mujmal, mufashal, mantuq, mafhum, mutlaq, muqayad, muhkam, mutasyabih, dsb.


Cabang-cabang Ulumul-Qur’an


Pada dasarnya dibagi dalam dua kategori, yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Dirayah. Yang termasuk Riwayah adalah ilmu-ilmu al-Qur’an yang diperoleh melalui jalan Riwayat yang Naql semata, seperti tentang turunya, tertibnya, macam-macam qira’at, wakti turunya dan lain sebagainya.


Yang termasuk dalam kategori ilmu Dirayah adalah ilmu al-Qur’an yang diperoleh melalui pendayagunaan kemampuan yang ada dalam jalan pemikiran, penalaran dan penyelidikan atau penelitian, seperti pengetahuan tentang lafadz-lafadz yang gharib, tentang I’jaz al-Qur’an, ayat yang nasikh dan yang mansukh dan lain sebagainya.


Sumber : http://kampusciamis.com/artikel/religi/93-ulumul-quran.html

Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kebenarannya. Allah Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membebaskan manusia dari kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Para sahabat merupakan orang-orang yang selalu bersemangat untuk mendapatkan pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka selalu ingin menghafal dan memahami Al-Qur’an, karena dengan menghafal dan memahami Al-Qur’an merupakan suatu kehormatan bagi mereka.
Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkan dan menegakkan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Abu Abdirrahman As-Sulami meriwayatkan bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.” (HR. Abdurrazaq dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
Khalifah Utsman bin Affan membuat suatu terobosan baru untuk menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini merupakan awal munculnya ilmu penulisan rasm Al-Qur’an.
Kemudian, Khalifah Ali bin Thalib menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk mengagas kaidah nahwu demi menghindari adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu I’rab Al-Qur’an.
Di antara para ahli tafsir dikalangan sahabat nabi adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Adapun dikalangan para tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari para sahabat, dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup terkenal yaitu Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus, dan Atha’ bin Rabah.
Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
Di Irak terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai ahli tafsir. Mereka seperti Alqamah bin Qais, Masruq bin Al-Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah.
Menurut Ibnu Taimiyah, ada beberapa orang yang terkemuka dalam bidang tafsir di Makkah. Mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas seperti Mujahid, Atha’ bin Rabah, Ikrimah, Thawus, Sa’id bin Jubair, dll. Sedangkan ulama tafsir di Madinah seperti Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), Abdurrahman bin Zaid, dan Abdullah bin Wahab.
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup ilmu tafsir, ilmu gharib Al-Qur’an, ilmu asbab an-nuzul, ilmu Makkiyah-Madaniyah, dan ilmu nasikh-mansukh. Tetapi semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).
Abad kedua Hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat, atau tabi’in.
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu diantaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (wafat 197 H). Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama tersebut pada dasarnya adalah ulama hadits.
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al-Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui dengan proses kodifikasi namun masih masuk dalam bab-bab hadits. Kemudian muncul tafsir bil matsur (yang menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, serta perkataan para sahabat, dan salafush shalih) dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).
Dalam ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yan berkaitan dnegan tafsir Al-Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir. Ali bin Madini, guru Imam Bukhari (wafat 234 H) menulis tentang asbab an-nuzul. Abu Ubaid bin Al-Qasim bin Sallam (wafat 224 H) melahirkan karya tentang nasikh dan masukh serta masalah qiraat. Ibnu Qutaibah (wafat 275 H) menulis masalah problema Al-Qur’an (Musykil Al-Qur’an). Mereka merupakan para ulama abad ketiga Hijriah.
Pada abad keempat Hijriah, tidak sedikit ulama yang menulis tentang masalah terkait, Muhammad bin Khalaf bin Al-Marzuban (wafat 309 H) menulis sebuah kitab Al-Hawi fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Ambari (wafat 309 H) menulis kitab ‘Ulum Al-Qur’an, dan Muhammad bin Ali Al-Afidi (wafat 388 H) menulis kitab Al-Istighna fi ‘Ulum Al-Qur’an. Kemudian banyak karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin ilmu Al-Qur’an.
Sedangkan definis dari ‘Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an seperti pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, dll.
Terkadang, ‘ulumul Qur’an disebut sebagai ushul at-tafsir karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Sumber:
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna Al-Qaththan: Pustaka Al-Kautsar

Ulumul Qur'an


PENDAHULUAN
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(Q.S.An-Nahl 89)
Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :

وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
v    Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :

“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
v    Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:

“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من  جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ. مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك.

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)
C. Pokok Pembahasan
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1.    Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.    Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
v    Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut  asbabun nuzul dan sebagainya.
v    Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
v    Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
v    Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
v    Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
v    Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1.    Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.    Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya .
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid Ramli.Drs, Ulumul Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Nata Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992
Abdul Halim M, Memahami Al-Qur’an, Marja’, Bandung, 1999
Shaleh K.H, Asbabun Nuzul, C.V Diponegoro, Bandung, 1992
Al-Alwi Sayyid Muhammad Ibn Sayyid Abbas, Faidl Al-Khobir, Al-Hidayah, Surabaya
Sumber : http://dakir.wordpress.com/2009/03/13/pengertian-ulumul-quran/

PENGERTIAN ULUMUL QUR'AN

A. PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN
Ungkapan ulumul qur’an berasal dari bahasa arab yaitu dari kata ulum dan al-qur’an. Kata ulum jamak dari ilmu dan al-qur’an. Menurut Abu syahbah ulumul qur’an adalah sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’an,mulai dari proses penurunan, urutan penulisan,kodifikasi,cara pembaca,penafsiran,nasikh mansukh,muhkam mutashabih serta pembahasan lainnya
B. SEJARAH TURUNNYA ALQUR’AN DAN PENULISAN ALQUR’AN
Hikmah diwahyukan alqur’an secara berangsur-angsur adalah al-qur’an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari yaitu mulai dari malam 17 romadhan tahun 41 dari kelahiran nabi sampai 9 dzulhijah haji wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H. Proses turunnya ql-quran melalui 3 tahapan yaitu
1. Al-qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh mahfuzh yaitu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Dalam firmanya “ Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-qur’an yang mulia yang tersimpan dalam lauh al-mahfuzh (Q.S AL-buruuj :21-22)
2. Al-qur’an diturunkan dari lauh al mahfuzh ke bait Al-Izzah ( tempat yang berada di langit dunia )
3. Al-qur’an diturunkan dari bait al-Izzah ke dalam hati nabi melalui malaikat jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakala satu ayat kadang satu surat.
Disamping hikmah diatas ada hikmah yang lainnya yaitu
1. Memantapkan hati nabi
2. Menentang dan melemahkan para penentang Al-qur’an
3. Memudahkan untuk dihafal dan difahami
4. mengikuti setiap kejadian yang menyebabkan turunya ayat-ayat al-qur’an dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at
5. membuktikan dengan pasti bahwa al-qur’an turun dari allah yang maha bijaksana
Penulisan al-qur’an pada masa Abu Bakar termotivasi karena kekwatiran sirnanya al-qur’an dengan syahitnya beberapa penghapal Al-qur’an pada perang yamamah, Abu bakar melakukan pengumpulan al-qur’an dengan mengumpulkan al-qur’an yang terpencar-pencar pada pelepah kurma,kulit,tulang dan sebagainya
C. ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab-nuzul merupakan bentuk idhofah dari asbab dan nuzul. Secara etimologi artinya sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Menurut Az-zargani Asbabuan-nuzul adalah sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.Menurut Az-zargani urgensi asbab an-nuzul dalam mmahami Al-qur’an adalah
1. Membantu dan memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-qur’an.
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat kusus.
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-qur’an.
5. Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
D. MUNASABAH AL QUR’AN
Menurut Manna Al-qathan munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat,atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat dalam al-qur’an. As-Suyuti menjelaskan langkah-langkah yang diperhatikan dalam menemukan munasabah yaitu:
a. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian
b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat
c. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu apakah ada hubungannya atau tidak
d. Dalam mengambil keputusan,hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkspan dengan benar dan tidak berlebihan
Macam-macam munasabah;
1. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya: berfungsi sebagai menyempurnakan surat sebelumnya
2. Munasabah antara nama surat dan tujuan turunya
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
4. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
5. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
6. Munasabah antara fashilah (pemisah)dan isi ayat
7. Munasabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
8. Munasabah antara penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
E. MAKIYAH DAN MADANIYAH
“Makiyah ialah ayat – ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di Mekkah .Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di madinah.Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah di sebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah.”
Ciri-ciri spesifik makiyah dan madaniyah
1. Makiyah
a. Di dalamnya terdapat sajadah
b. Ayat-ayatnya dimulai dengan kalla
c. Dimulai dengan ya-ayuha an-nas
d. Ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat- umat terdahulu
e. Ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan Idris kecuali surat al-baqoroh
f. Ayatnya dimulai dengan huruf terpotong- potong seperti alif lam mim dan sebagainya
2. Madaniyah
a. Mengandung ketentuan-ketentuan faroid dan hadd
b. Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafikkecuali surat al-ankabut
c. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitab
F. MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang baik melalui ta’wil ataupun tidak
Ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui Allah seperti kedatangan kedatangan hari kiamat, kedatangan dajjal.
Hikmah keberadaan ayat mutasabih dalam Al-qur’an adalah:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasabih.
3. Memberikan pemahaman abstrak Illahi kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikannya.
G. QIRO’AT AL-QUR’AN
Qiro’at adalah ilmu yng mempelajari cara-cara mengucapkan kata-kata al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
Macam-macam qiro’at:
1. Qiro’at Sab’ah ( Qiro’at tujuh ) adalah imam-imam qiro’at ada tujuh orang, yaitu:
a. ‘Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w.120 H ) dari Mekkah.
b. Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im (w .169 H ).dari madinah
c. ‘Abdullah Al-yashibi (w.118 H ) dari Syam
d. Abu Amar (w.154 H ) dari Irak
e. Ya’kub (w.205 H ) dari Irak
f. Hamzah (w.188 )
g. ‘Ashim (w.127 H )
2. Qiro’ah Asyiroh adalah qiro’ah sab’ah ditambah dengan 3 imam yaitu: Abu Ja’far, Ya’kub bin Ishaq, kalaf bin hisyam
3. Qiro’ah Arba Asyiroh (qiro’ah empat belas) yaitu qiro’ah sepuluh ditambah dengan 4 imam yaitu Al-hasan al basri, muhammad bin abdul rohman,yahya bin mubarok,Abu fajr muhammad bin ahmad.
Dari segi kualitas qiro’ah dapat dibagi menjadi
1. Qiro’ah Mutawwatir yaitu qiro’ah yang disampakan kelompok orang yang sanatnya tidak berbuat dusta
2. Qiro’ah Mashur yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sahih dan mutawatir
3. Qiro’ah ahad yaitu memiliki sanad sahih tapi menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaidah bahasa Arab
4. Qiro’ah Maudhu yaitu palsu
5. Qiroah Syadz Yaitu menyimpang
6. Qiro’ah yang menyerupai hadist mudroj (sisipan)

Sumber : http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/02/resume-kajian-ulumul-qur%E2%80%99an/

Thursday, June 3, 2010

Sejarah Al-Qur'an

Sejarah Al-Qur'an

Setelah Rasulullah wafat, tampilah Abu Bakar sebagai khalifah untuk memimpin umat. Pelayanan umat muslim terhadap al-Quran pada masa kepimpinan khalifah Abu Bakar mengalami suatu kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari kondisi umat pada masa itu, riwayat dari Imam Bukhori menerangkan sebagai berikut: “Berkata kepada kami Musa bin Ismail dari Ibrahim bin Sa’ad berkata kepada kami Ibnu Syihab dari Ubaid bin as-Sibaq bahwa Zaid bin Tsabit Ra menyatakan: “Telah datang kepadaku Abu Bakar as-Siddiq setelah peperangan di Yamamah, kebetulan Umar bin Khattab bersamanya, Abu Bakar menyatakan sungguh Umar telah datang kepadaku dan berkata : ‘Peperangan telah menyebabkan kematian beberapa pembaca al-Quran, dan saya sungguh khawatir jika kematian meluas kebeberapa Qurra’ di daerah-daerah hingga menyebabkan hilangnya kebanyakan al-Quran, dan saya berpendapat agar engkau segara memerintahkan kodifikasi atas al-Quran’. Saya mengatakan kepada Umar, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah Saw lakukan?” Umar berkata: “Demi Allah hal ini adalah sangat baik”. Maka Umar tetap memintaku hingga Allah melapangkan dadaku atas hal itu sebagaimana penglihatan Umar. Zaid berkata, “bahwa Abu Bakar menyatakan ‘sesungguhnya engkau orang yang masih muda lagi cerdas, bukannya kami menuduhmu , dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw, maka cermatilah al-Quran dan lakukan kodifikasi’. Maka demi Allah, seandainya saja memerintahkanku memindahkan salah satu gunung dari beberappa gunung tidaklah lebih berat dari perintah kodifikasi atas al-Quran”. Saya berkata : “Bagaimana mungkin kalian melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw? Berkata Abu Bakar: ”Demi Allah, inilah yang terbaik”. Abu Bakar memintaku hingga Allah melapangkan dadaku untuk dapat memahami pendapat Abu Bakar dan Umar, maka segera saya lakukan penulusuran dan pengumpulan al-Quran dari rumput dan pelepah pohon serta hafalan para Qurra’ sampai saya temukan akhir dari surat at-Taubah (..telah datang kepadamu…..) hingga akhir surat pada Abu Khuzainah al-Anshori yang tidak terdapat pada lainya. Lembaran-lembaran tersebut terasa ditangan Abu Bakar hingga beliau wafat ,kemudian umar dan kemudian ditangan Hafshaf binti Umar bin Khattab.” [1]


Upaya penyalinan oleh para penulis wahyu dengan dibantu para Qurra’ (penghafal al-Quran) telah menghasilkan tulisan al-Quran dalam bentuk lembaran-lembaran yang dapat meminimalisir perbedaan pendapat dalam tulisan dan bacaan al-Quran bagi umat muslim.

Dengan upaya adanya kodifikasi tersebut diatas tugas para penghafal al-Quran bukannya selesai. Sebab tugas tersebut tidak semata-mata untuk pengajaran al-Quran saja, namun lebih dari itu merupakan suatu ibadah yang membuat para pelakunya memiliki keutamaan disisi Allah.

Kodifikasi ll (Upaya Perwujudan Mushaf Induk)

Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam membaca al-Quran belum merupakan hal yang mengkhawtirkan, walaupun begitu mereka telah mengantisipasi dengan melakukan kodifikasi atas al-Quran sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Namun setelah dua masa kepemimpinan, masalah tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran, sehinagga para sahabat segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan dalam riwayat berikut: “Berkata kepada kami Musa, berkata kepada Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: ‘Khudzaifah bin al–Yaman datang kepada ustman ,dan sebelumnya ia memerangi warga Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Quran, maka berkatalah Khudzaifah kepada Ustman: ‘Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah Kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasroni’. Ustman lantas berkirim surat kepada Hafsah,”Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalam mushaf (bentuk plural dari mushaf, kumpulan lembaran yang diapit dua kulit seperti buku) kemudian kami kembalikan kepadam’, Hafsah segera mengirmkan kepada Ustman ,maka Ustmanpun segera memerintahkan Zaid bin Tsabit ,Abdullah bin Zubair ,Sa’id bin Ash serta Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya kedalam mushaf-mushaf, dan dia (Ustman) mengatakan kepada otoritas Quraisy tersebut di atas: ‘Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah al-Quran diturunkan, maka tulislah dengan lisan Quraisy, sebab al-Quran diturunkan dalam dialek mereka (suku Quraisy)’, dan merekapun melakukan hal ini, dan ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut kedalam beberapa mushaf, Ustman segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepasa Hafsah, lalu mengirim mushaf yang telah mereka salin kesatu tempat, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran (sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar.” [2]

Pada masa itu tulisan (kaligrafi) Arab masih belum berharakat dan bertitik seperti yang kita jumpai pada saat ini, perbedaan harakat, dan panjang pendek bacaan akan menunjukan makna yang berbeda, hal ini tidak mustahil menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat muslim non Arab. Cara baca dan pemaknaan yang salah sangat mungkin dilakukan oleh mereka.

Berdasarkan laporan dari Huzdaifah bin al-Yaman yang baru datang dari Armenia dan Azarbaijan (kedua wilayah tersebut bukan wilayah yang berbahasa Arab), Ustman sebagai kholifah dibantu para sahabat segera mengambil tindakan. Demi mengatasi hal itu maka al-Quran yang pernah ditulis pada masa Abu Bakar (masih dalam bentuk lembaran ) disalin lagi dalam bentuk mushaf (diapit dua kulit seperti buku), untuk dibagikan ke daerah –daerah sebagai al-Quran standar, sedangkan yang lain dimusnahkan. Keputusan yang diambil oleh para sahabat, khususnya ustman sebagai pemimpin umat pada waktu itu sangatlah tepat, sebab tugas seorang khalifah tidak hanya masalah ekonomi, politik dan sosial, tapi juga menyangkut keagamaan, seperti penjagaan keaslian al-Quran baik bacaan maupun tulisannya. Jika merebak suatu bacaan yang salah dan beraneka ragam, maka tugas pemimpin umat Islamlah untuk membetulkan, sehingga umat ini selamat dari apa yang pernah dilakuakan oleh umat sebelumnya.

Tapi yang perlu diingat bahwa standarisasi tidak menafikan adanya tujuh macam bacaan yang memang sudah ditetapkan oleh Rasulullah. Dengan adanya mushaf imam (induk) kemudian kita kenal dengan Mushaf Ustmani, secara tidak langsung khalifah Ustman tekah meletakkan dasar-dasar untuk tumbuh kembangnya ilmu al-Quran yang diawali dengan pembahasan masalah rasm (bentuk tulisan) Ustmani atau ilmu rasm al-Quran.

Jika diruntut dari awal, wahyu ditulis oleh tim yang ditunjuk oleh Rasulullah pada saat bersamaan dihafalkan oleh para qurra’, kemudian pada masa khalifah Abu Bakar apa yang ditulis oleh tim dalam bentuk mushaf (sajifah) lembaran-lembaran tersebut disalin kembali menjadi bentuk mushaf (berbentuk seperti buku) dan menjadi standar satu-satunya. Lalu mushaf standar inilah yang sampai kepada kita hari ini. Menurut Ibnu Mandzur (630-711 H) dalam kamusnya yang terkemal, Lisan al-Arab, kata ‘sahifah’ artinya lembaran yang ada tulisanya, sedangkan mushaf atau misahaf bermakna himpunan dari lembaran yang ada tulisannya dengan dibatasi dua kulit. [3] Makna yang sama disampaikan penulis kamus lain yang lebih dahulu yaitu al-Azhari [4] juga al-Jauhari (393 H.) dalam as-Shihahnya.

Setelah meninggalnya khalifah Ustman, sahabat Ali bin Abi Thalib yang memegang tampuk kepemimpinan, dan seperti pendahulunya pelayanan terhadap al-Quran tidak pernah absen. Dengan berkembangnya daerah kekuasan Islam, mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sering kali melakukan kesalahan dalam membaca al-Quran. Melihat yang sedemikian itulah khalifah memerintahkan Abu al-Aswad as-Suali untuk menulis beberapa kaidah bahasa Arab agar masyarakat bisa membaca al-Quran dengan benar. Upaya tersebut menjadi dasar peletakan ilmu nahwu (gramatika arab) dan ilmu i’rab al-Quran. [5]

Al-Quran Pasca Khulafa ar Rasyidin

Setelah berakhir masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin kemudian pemerintah bani Umayah dengan Mua’wiyah sebagai pemimpin pertama dari dinasti ini. Dan seperti pendahulunya Mu’awiyah telah memberikan sentuhan yang sangat berarti dengan menggalakkan pemberian tanda baca pada mushaf . Ini dilakukan ketika salah satu Gubenurnya di Basrah yaitu Ziyad bin Samiyah menyaksikan kekeliruan sebagian orang dalam membaca surat at-Taubah ayat 3, yang dapat melahirkan makna yang salah.

Pada masa mainstream pengajaran al-Quran oleh para sahabat dan tabi’in masih menggunakan metode at-Talaqqi wal ‘ardli dan Talqin (pengajaran dengan cara instruksi dan dikte ) karena tradisi tulisan belum membudaya. Selain empat khalifah, sahabat-sahabat lain juga mempelopori pengajaran al-Quran dengan metode diatas adalah: Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid Tsabit, Abu Musa al-‘Asyari serta Abdullah bin Zubair. Sedangkan yang dari tabi’in mereka adalah Mujahid, Atho’ Ikrimah, Qotadah, Hasan al-Bashri, Sa’ad bin Zubair dan Zaid bin Aslam. Merekalah yang telah dianggap meletakan dasar-dasar ilmu al-Quran seperti ilmu Tafsir, Asbah an-Nuzul, ilmu Nasikh Mansukh, ilmu Gharib al-Quran dan lain sebagainya.

Pada masa-masa selanjutnya ketika perkembangan keilmuan dalam Islam mulai berkembang, pelayanan dan interaksi dengan al-Quran oleh para sarjana muslim telah menghasilkan berbagai ilmu, baik yang ditunjukkan untuk penjagaan al-Quran seperti tajwid (untuk membaca kesalahan dalam bacaan ), Ilmu Qiroat (membahas variasi bacaan seperti yang telah ditetapkan oleh Rasullulah Saw), Ilmu Rasm (membahas tata cara pemberian tanda baca), Ulum al-Quran (yang mencakup seluruh kajian tentang al-Quran seperti sebab-sebab turunnya wahyu dll); ataupun yang merupakan hasil dari interaksi mereka dengan al- Qur’an seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Balaghoh (retorika ), Fan al-Qashas al-Quraniyah (seni pengkisahan dalam al-Quran) termasuk juga nahwu (gramatika arab yang merujuk pada al-Quran) atau yang bersifat seni seperti seni baca al-Quran dengan dilantunkan, serta kaligrafi.

Walaupun kegiatan penghafalan al-Quran tatap berlaku sebagaimana semestinya, bahkan menjadi pelajaran dasar wajib bagi pelajar khususnya abad-abad pertengahan sampai sekarang, terutama di pesantren. Tidaklah keterlaluan jika Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Umat kita tidaklah sama dengan ahli kitab, yang tidak menghafalkan kitab suci mereka. Bahkan jikalau seluruh mushaf ditiadakan maka al-Quran tetap tersimpan dalam hati umat muslim.” [6]

Pada masa sekarang, pengawasan ada di bawah lajnah pentashih al-Quran, dibawah pengawasan departemen RI. Di Negara Islampun terdapat badan yang serupa, khususnya dalam masalah al-Quran. Kini umat muslim bisa mendengarkan dari manapun di penjuru dunia tanpa merasa asing akan bacaan mereka dengan media bermacam-macam. Dalam upaya mampelajari ayat-ayat al-Quranpun sudah banyak kemudian yang mereka dapatkan baik berupa tafsir maupun terjemahan serta sederet ilmu-limu yang lainya.

Sampai disini dulu, semoga nanti ada waktu dan kesempatan untuk mengulas sejarah al-Quran lebih dalam lagi. Wasalam.

Footnote:
1. Bukhori muslim
2. Open Hani jilid ll: 302, dalam Zainal Arifin Abbas, peri hidup Muhammad Saw, firma rahmat medan th 1952 ll A 482-493
3. Ibid hal 520
4. Majalah Modus, Edisi 2 hal 26
5. Ibnu Hisyam, as-Sirah an Nabawiyah, Dar al- Manar Kairo 1999 jilid 1 hal 378
6. Imam Ahmad.
 

Tentang Qiro'ah Sab'ah

MENGENAL QIROAH SAB’AH

MUQADDIMAH :
Al-Qur’an adalah wahyu yang di turunkan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad. Sejak masa turunnya hingga sekarang, ayat-ayat dan surat-suratnya tak putus-putusnya dibaca dan diperbincangkan oleh kaum Muslimin. Kita semua tahu bahwa Al-Quran yang ada pada kita sekarang ini adalah Al-Quran yang diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad s.a.w empat belas abad yang lalu, dan Alloh telah menjaganya dari kebathilan sampai hari qiyamat, sebagaimana di terangkan dalam firmanNya.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran, dan Kami tentu menjaganya." (QS 15:9)
وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (41) لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
"Sesungguhnya Al-Quran itu adalah kitab yang mulia dan tidak akan terjamah kebatilan dari awal sampai akhir. la diturunkan dari Tuhan yang Maha bijaksana dan Maha Terpuji." (QS 41: 41-42)
I. DALIL ( PETUNJUK ) PENURUNAN AL-QUR’AN ATAS TUJUH HURUF
Sungguh banyak hadits-hadits yang menerangkan hal itu, di antaranya yang di riwayatkan dari Umar bin al-Khottob semoga Alloh meridoinya.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِى عُقَيْلٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِىَّ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِى حَيَاةِ رَسُولِ اللهِ b فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللهِ b فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِى الصَّلاَةِ فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِى سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ . قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللهِ b. فَقُلْتُ كَذَبْتَ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ b قَدْ أَقْرَأَنِيهَا عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ ، فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ b فَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ بِسُورَةِ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ b أَرْسِلْهُ اقْرَأْ يَا هِشَامُ . فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةَ الَّتِى سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ b كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ . ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ . فَقَرَأْتُ الْقِرَاءَةَ الَّتِى أَقْرَأَنِى ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ b كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ ، إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ .٭ رواه البخارى
Bercerita kepadaku Said bin Ufair dia berkata, bercerita padaku Laits dia berkata, bercerita padaku Uqail dari Ibnu Syihab dia berkata, bercerita padaku Urwah bin Zubair, Sesungguhnya Miswar bin Mahkromah dan Abdurrohman bin Abdul Qoriy bercerita kepadanya, Sesungguhnya keduanya mendengar dari Umar, dia berkata, Saya mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqon pada masa hidup Rosululloh, aku dengarkan bacaannya ternyata dia membaca dengan huruf-huruf yang banyak yang tidak membacakannya Rosululloh kepadaku, maka hampir aku menyalahkannya pada waktu sholat, maka aku bersabar hingga dia mengucapkan salam, lalu aku tarik jubahnya dan aku Tanya : Siapa yang membacakan surat kepadamu yang tadi aku dengar? Dia menjawab : Rosululloh membacakannya padaku. Aku berkata : Kau dusta, karena Rosululloh membacakan surat itu kepadaku tidak seperti yang kau baca. Lalu aku pergi membawanya kepada Rosululloh, Aku berkata : Ya Roaululloh, aku dengar dia ( Hisyam ) membaca surat Al-Furqon dengan huruf yang tidak engkau bacakan kepadaku. Lalu Rosululloh bersabda : Bacalah Hisyam ! lalu dia ( Hisayam ) membaca dengan bacaan yang tadi aku dengar. Lalu Rosululloh bersabda : Begitulah dia ( Al-Qur’an ) di turunkan. Kemudian Rosululloh bersabda : Bacalah Umar ! Lalu aku baca dengan bacaan yang beliau bacakan kepadaku. Lalu Rosululloh bersabda : Begitulah dia ( al-Qur’an ) di turunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an di turunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah bagimu. ( HR Bukhori )
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِى سُلَيْمَانُ عَنْ يُونُسَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ b قَالَ أَقْرَأَنِى جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ ، فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ ٭ رواه البخارى
Bercerita padaku Ismail dia berkata, bercerita padaku Sulaiman dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibna Abdillah ibna Utbah ibna Mas’udi dari Ibnu abbas Rodiyallohu anhuma, Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda : Telah membacakan padaku Jibril atas huruf, maka tidak henti-hentinya aku minta tambahan padanya sehingga sampai pada tujuh huruf. ( HR Bukhori )
II. HIKMAH PENURUNAN AL-कुर AN DENGAN TUJUH HURUF
Yaitu meringankan dan memudahkan kepada Umat Muhammad, karena bangsa Arab yang di turuni Al-Qur’an dengan bahasa mereka, lisan mereka berbeda-beda, dan dialek mereka juga berbeda-beda, maka kalau Alloh membebani mereka dengan dialek yang berbeda dan berpindah pada lainnya pasti hal itu berat bagi mereka, dan tentu termasuk pembebanan hal yang tak mampu di lakukan , dan hal itu bertentangan dengan toleransi islam dan kemudahannya.
III. YANG DI MAKSUD DENGAN TUJUH HURUF
Para Ulama’ telah banyak berselisih tentang apa yang di maksud dengan tujuh huruf, mereka berbeda pendapat, tetapi pendapat yang di pilih oleh Syekh Abdul Fatah Al-Qodi dalam kitabnya Al-Wafi ialah pendapat Imam Abu Fadl Ar Rozi, yaitu : bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah segi-segi yang terjadi padanya perubahan dan perbedaan, dan segi-segi ini tidak keluar dari tujuh, yaitu :
- Perbedaan isim dalam mufrod,mutsanna dan jama’
- Perbedaan penafsiran Fi’il dari madly, mudhori’ dan amar
- Perbedaan segi pengi’roban
- Perbedaan dengan menetapkan dan membuang
- Perbedaan dengan mendahulukan dan mengakhirkan
- Perbedaan dengan menjadikan satu huruf pada tempat lain
- Perbedaan pada dialek seperti fatah, imalah, idghom dan idhar, mengganti hamzah dan mentakhfifkannya dan menaqolkan harokat hamzah atau menetapkannya
IV. KENAPA BACAAN-BACAAN ITU DI NISBATKAN KEPADA PARA IMAM AHLI MEMBACA ?
Adanya bacaan itu di nisbatkan kepada para Imam ahli membaca, karena masing-masing Imam tersebut menghabiskan masa hidupnya membaca qiroah yang ia masyhur dengannya, dan ia bacakan kepada manusia maka di katakan qiro’ah Nafi’ begini, dan qiro’ah Ibnu katsir begini. Maka ini penisbatan yang langgeng dan melekat begitu juga bacaan dan membacakannya, dan bukan penisbatan yang di buat-buat atau di ada-adakan. Al-Qur’an dan Qiroat ini diterima dengan Talaqqi dan dari lisan langsung juga dari syekh-syekh yang bersambung sanadnya dengan Rosululloh SAW.
V. TUJUH IMAM QIROAH
Diantara para Imam Qurro’ yang paling banyak di kenal adalah tujuh Imam Qiro’ah. Mereka ini menjadi rujukan dalam ilmu qiro’ah dan mengalahkan Imam-imam yang lain. Dari masing-masing tujuh Imam itu dikenal dua orang perowi di antara sekian banyak perowi yang tidak bisa di hitung jumlahnya.
Nama-nama tujuh Imam dan dua orang perowinya itu adalah :
- Nafi’ Al Madaniy dua orang perowinya adalah Qolun dan Warsy
- Ibnu Kastir Al Makiy dua orang perowinya adalah Al Bazzi dan Qumbul
- Abu Amr Al Bashriy dua orang perowinya adalah Ad Duri dan As Susi
- Ibnu Amir Ad Dimasqiy dua orang perowinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan
- ‘Asyim Al Kufiy dua orang perowinya adalah syu’bah dan Hafsh
- Hamzah Al Kufiy dua orang perowinya adalah Kholaf dan Khollad
- Al Kisa’I Al Kufiy dua orang perowinya adalah Abul Harits dan Ad Duri


Sumber : http://iskicha.blogspot.com/2008/04/mengenal-qiroah-sabah.html?zx=97d2b5f09ffc1171

Sejarah perkembangan ilmu Al-Qur'an

Sepertimana yang kita sedia maklum setiap kali wahyu al-Quran diturunkan pasti dengan segera Rasulullah s.a.w menyampaikan dan mengajarkan kepada para sahabat tercinta. Walaupun begitu tidak semua yang dapat menguasai 7 huruf tersebut. Ada yang menerima satu huruf, sementara yang lain dengan huruf yang lain dan ada juga di antara mereka yang diajar dengan huruf yang banyak seperti Abdullah bin Mas’ud mengikut budi bicara Rasulullah s.a.w. Hal ini kerana matlamat atau tujuan sebenar permintaan baginda kepada Allah Ta’ala untuk memudahkan ummat dalam membaca dan memahami kitabullah.
Firman Allah yang bermaksud:
"Dan sesungguhnya Kami telah memudahkan Al-Quran untuk peringatan, mengapa kamu tidak mahu mengambil pelajaran daripadanya?"Sebaik sahaja al-Quran sampai kepada para sahabat, mereka segera membaca dan mengulang ayat-ayat tersebut sehingga benar-benar lekat dalam ingatan diiringi dengan suruhan yang telah diperintahkan tanpa berlengah lagi dan menungu-nungu wahyu yang seterusnya.
Di sebabkan para sahabat tidak menerima semua qiraat daripada baginda maka pernah terjadi perselisihan dikalangan mereka yang mana masing-masing mendakwa bacaan mereka adalah bacaan Rasulullah s.a.w sepertimana kisah yang pernah dialami oleh saidina Umar dengan Hisyam bin Hakim di dalam solat.
Kisahnya begini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, pada suatu hari Hisyam telah mengimami solat yang turut ada di dalamnya saidina Umar dengan membaca surah al-Furqan dengan bacaan yang pelbagai. Tatkala Umar mendengar bacaan tersebut beliau hampir sahaja menarik Hisyam keluar dari solat kerana tidak pernah mendengar Rasullah membaca dengan bacaan yang dibaca oleh Hisyam tadi. Bilamana Umar menanyakan dari siapa Hiyam mendapatkan bacaan tadi sudah tentu ia dari Rasulullah! Disebabkan rasa tidak puas hati dan kebimbangan dengan penyelewangan ayat suci maka berjumpalah mereka menghadap baginda s.a.w untuk menuntut kepastian dan Rasulullah telah membenarkan bacaan Umar dan Hisyam.
Begitulah sifat sahabat yang amat teliti dan sensitif dengan apa yang dibawa oleh baginda bukan kerana kepentingan diri tapi dalam memelihara kitab suci dan agama Allah.
Sehinggalah pada zaman saidina Abu Bakr al-Quran masih lagi dihafaz dan terpelihara kukuh di dada para sahabat. Namun apabila berlaku peperangan Riddah yang memerangi golongan murtad maka ramailah para sabahat yang yang gugur syahid. Kebimbangan melanda umat Islam bilamana syuhada’ adalah majoriti penghafaz al-Quran! Lalu saidina Umar mencadangkan kepada Abu Bakr supaya al-Quran disalin dan dikumpulkan. Walaupun berat untuk dilaksanakan kerana tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah s.a.w, dengan petunjuk dan hidayah Allah dan komitmen para sahabat kerana bimbang al-Quran akan lenyap, maka Ia pun terlaksana.
Setelah wafat Abu Bakr, tampuk pemerintahan dipegang oleh Saidina Umar dan al-Quran yang telah dibukukan tersebut diserahkan kepada beliau untuk memeliharanya sebagai rujukan dan panduan umat Islam seterusnya berpindah ke tangan Hafsah Isteri baginda s.a.w yg juga merupakan puteri saidina Umar.
Islam semakin berkembang dan meluas….dari sehari ke sehari semakin ramai yang memeluk agama Islam berkat kegigihan sahabat dan tabiin dalam menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini. Maka, ramailah orang yang bukan dari bangsa arab yang membaca al-Quran. Oleh kerana al-Quran pada masa itu masih lagi tidak ada baris dan titik seperti yang ada pada hari ini maka ia amat sukar sekali untuk dibaca sehingga banyaklah berlaku perselisihan dalam bacaan.
Suatu hari dalam pemerintahan Saidina Uthman ketika berlakunya peperangan di Yarmuk perselisihan semakin menjadi-jadi di antara umat Islam yang menyertai peperangan dan hampir berbunuh-bunuhan. Lalu saidina Uthman mengambil inisiatif untuk menyalin al-Quran dalam beberapa mashaf dan dibariskan untuk memudahkan membacanya. Mashaf-mashaf tersebut dihantar ke negara-negara Islam dengan qiraat yang mudah dan bersesuaian dengan negara tersebut bersama wakil dari sahabat untuk memberi tunjuk ajar.
Setelah itu, agama islam semakin pesat dan keilmuan dan penemuan islam semakin berkembang maka lahir satu golongan yang mengkaji dan meneliti al-quran, yang menyusun dan meriwayatkan ilmu qiraat dengan lebih teliti yang dikenali sebagai Qurra’.
Merekalah yang menyusun kaedah dalam ilmu Qiraat demi memudahkan generasi yang akan datang agar tidak timbul sebarang perselisihan yang besar dalam membaca al-Quran. Juga supaya matlamat dan impian Rasulullah s.a.w terhadap umatnya agar sentiasa membaca dan mengamalkan Al-Quran terlaksana.
Benarlah janji Allah yang akan memelihara al-Quran hingga sampai kepada kita pada hari ini tanpa sebarang pengubahan dan penyelewangan dan akan terus terpelihara…Demikianlah Allah merakamkan melalui firmanNya yang bermaksud:
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan Kamilah yang akan memeliharanya."
Janji Allah tidak ada siapa yang dapat mengubahnya walaupun orang-orang yang memusuhi islam cuba untuk melakukan pelbagai penyelewengan, mentafsir mengikut kemahuan sesuka hati.
Mengenangkan pemeliharaan Allah melalui apa yang dilakukan oleh para sahabat amat terharu dengan kegigihan mereka dalam memelihara ayat-ayat suci ini. Semuanya adalah untuk kita ada hari ini kerana bimbang kita tidak tahu, tidak pandai, keliru
dan tidak memahami al-Quran! Tapi….apa yang kita lakukan? Tepuk dada tanyalah iman…mudah-mudahan kita juga dapat meneruskan kesinambungan ini . Wallahu a’lam

Mengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (4), Sulaiman bin Yasar

Sulaiman bin Yasar

Seorang ‘Alim Yang Rendah Hati

Bangga diri terhadap ilmu yang ada pada dirinya, kemudian merendahkan yang lainnya merupakan akhlak orang-orang yang bodoh, walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki ilmu yang luas.
Kunyah dan Nama Lengkap Beliau
Beliau adalah Abu Ayyub Sulaiman bin Yasar Al-Hilali Al-Madani. Tentang kunyah beliau ini masih diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan bahwa kunyah beliau adalah Abu ‘Abdirrahman, dan ada yang mengatakan bahwa kunyah beliau adalah Abu ‘Abdillah. Namun yang lebih mendekati kebenaran bahwa kunyah beliau adalah Abu Ayyub. Wallahu a’lam.
Beliau dilahirkan pada akhir-akhir masa Al-Khalifah Ar-Rasyid ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Seorang ‘alim yang berada pada thabaqah ketiga ini adalah imam dan mufti, salah seorang dari tujuh tokoh fuqaha’ kota Madinah. Beliau adalah seorang maula (bekas budak) dari Ummul Mu’minin Maimunah Al-Hilaliyyah radhiyallahu ‘anha, dan ada pula yang mengatakan bahwa beliau adalah sekretaris Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.
Beliau memiliki beberapa saudara kandung yaitu ‘Atha’ bin Yasar, ‘Abdul Malik bin Yasar, dan ‘Abdullah bin Yasar. ‘Atha’ bin Yasar adalah juga seorang ‘alim yang cukup disegani di kota Madinah.
Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau
Beliau meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, Jabir bin ‘Abdillah, Rafi’ bin Khudaij, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Abu Rafi’ -maula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam-, Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami, Al-Miqdad bin Al-Aswad, ‘Urwah bin Az-Zubair, Kuraib, ‘Irak bin Malik, ‘Amrah Al-Anshariyah, Muslim bin As-Saib, dan yang lainnya.
Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah saudara kandung beliau yaitu ‘Atha’ bin Yasar, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Bukair bin Al-Asyaj, ‘Amr bin Dinar, ‘Amr bin Maimun bin Mihran, Salim Abu An-Nadhr, Rabi’ah Ar-Ray, Ya’la bin Hakim, Ya’qub bin ‘Utbah, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, Muhammad bin Yusuf Al-Kindi, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Yunus bin Yusuf, ‘Abdullah bin Al-Fadhl Al-Hasyimi, ‘Amr bin Syu’aib, Muhammad bin Abi Harmalah, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, Khutsaim bin ‘Irak, dan yang lainnya.
Beliau dan saudara kandungnya yaitu ‘Atha’ bin Yasar adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah. Abu Hazim berkata: “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki yang senantiasa berada di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain dari ‘Atha bin Yasar.”
Beliau dan saudara kandungnya ini juga dikenal sebagai orang yang sangat rajin melaksanakan ibadah puasa.
Keluasan ilmunya menjadikan sebagian ulama lebih mengutamakan beliau dari sisi keilmuan dibanding Sa’id bin Al-Musayyib. Namun beliau adalah seorang yang sangat tawadhu’. Beliau pernah mengatakan tentang keutamaan Sa’id bin Al-Musayyib: “Sa’id bin Al-Musayyib adalah seorang manusia pilihan.”
Diceritakan oleh ‘Abdullah bin Yazid Al-Hudzali bahwa suatu ketika datang seseorang kepada Sa’id bin Al-Musayyib untuk menanyakan tentang sesuatu, maka kata Sa’id bin Al-Musayyib: “Pergilah engkau kepada Sulaiman bin Yasar, karena sesungguhnya dia adalah orang yang paling ‘alim dari manusia pilihan pada masa ini.”
Al-Imam Malik berkata: “Sulaiman bin Yasar adalah ulama umat setelah Sa’id bin Al-Musayyib, dan beliau sering menyepakati Sa’id dalam permasalahan agama. Dan Sa’id sendiri tidak berani mendahuluinya.”
Begitulah akhlak orang-orang yang berilmu, mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati), saling mengutamakan antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak membanggakan dirinya kemudian merendahkan yang lain walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki kelebihan dibanding yang lainnya.
Adapun membanggakan apa yang ada pada dirinya kemudian merendahkan yang lainnya merupakan akhlak orang-orang yang bodoh walaupun pada hakikatnya dirinya memiliki ilmu yang luas.
Beliau dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala wajah yang sangat tampan. Bahkan dikatakan sebagai manusia yang paling tampan pada zamannya. Dihikayatkan dalam sebuah kisah bahwasanya pernah ada seorang wanita yang sangat cantik masuk kepada beliau. Kemudian si wanita tersebut menginginkan sesuatu kepada beliau untuk dirinya -sebagaimana dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam-, namun beliau menolaknya dan segera lari keluar dari si wanita tersebut. Maka pada malam harinya beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Yusuf. Maka berkatalah beliau: “Anda Nabi Yusuf?” Nabi Yusuf menjawab: “Ya, saya adalah Yusuf yang sempat terbetik keinginan terhadap wanita itu (yakni istri Al-’Aziz), dan adapun engkau adalah Sulaiman yang tidak terbetik keinginan terhadap wanita tersebut.”
Namun hikayat ini masih dipertanyakan tentang kebenarannya karena sanadnya terputus.
Pujian Para Ulama Kepada Beliau
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: “Beliau adalah seorang ‘alim.”
Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata: “Sulaiman bin Yasar menurut kami adalah orang yang lebih pandai dibanding Sa’id bin Al-Musayyib.”
Ibnu Sa’d berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, ‘alim, tinggi kedudukannya, faqih, dan banyak haditsnya.”
Qatadah bin Di’amah berkata: “Aku sampai di kota Madinah, maka aku bertanya kepada penduduknya tentang orang yang paling ‘alim tentang masalah thalaq di kota tersebut, maka mereka menjawab: Sulaiman bin Yasar.”
Abu Zur’ah berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, amanah, memiliki keutamaan dan seorang ahli ibadah.”
Yahya bin Ma’in berkata: “Sulaiman adalah seorang yang terpercaya.”
An-Nasa’i berkata: “Beliau termasuk salah satu dari imam kaum muslimin.”
Ibnu Hibban berkata: “Beliau adalah termasuk Fuqaha’ kota Madinah dan Qurra’ (Ahli Qira’ah) nya kota itu.”
Wafat Beliau
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan tahun wafat beliau. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 107 Hijriyyah pada usia 73 tahun,
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Harun bin Muhammad berkata: Aku mendengar sebagian kawanku berkata: Tahun wafat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Ali bin Al-Husain, Abu Bakr bin ‘Abdirrahman pada tahun 94 Hijriyyah, disebut tahun Fuqaha’.
Semoga Allah ta’ala merahmati beliau …


Rujukan:
1. Al-Bidayah Wan Nihayah
2. Siyar A’lamin Nubala’
3. Tahdzibut Tahdzib
Dirangkum oleh Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah.
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=435

Para Imam Qur'an

PDF Print E-mail


 Sudahkah anda memeriksa bahwa guru-guru Qur-an yang anda belajar darinya adalah orang-orang yang menerirma Al Qur-an dari para Imam yang masyhur sehingga dapat diyakini bacaan anda sesuai dengan apa yang diturunkan kepada Rasulullah ?

روي البخارى عن عبد الله بن عمرو بن العاص  قال سمعت النبي ص م يقول خذوا القرأن من اربعة من عبد الله بن مسعود و سالم و معاذ و أبى ابن كعب
Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash berkata, saya mendengar Nabi saw berkata, Ambillah Al Qur-an dari 4 orang (Abdullah bin Mas'ud, Ubbay bin Ka'ab, Salim Maula Abu Hudzaifah, Mu'adz bin Jabal)

Disamping 4 sahabat tersebut dalam Al Itqan disebutkan :
1. Utsman
2. Ali
3. Zaid bin Tsabit
4. Abud Darda'
5. Abu Musa Al Asy'ari


Dari kalangan tabi'in yang mengambil Qur-an dari Sahabat adalah :

1. Madinah :a. Ibn Musayyab
b. Urwah
c. Salim
d. Umar bin 'Abdul 'Aziz
e. Sulaiman
f. Atha
g. Mu'adz bin Al Harits
h. Abdur Rahman bin Hurmuz Al A'raj
i. Ibn Syihab Az Zuhri
j. Muslim bin Jundab
k. Zaid bin Aslam

2. Makkah :a. Ubaid bin Umair
b. Atha' bin Abi Rabah
c. Thawus
d. Mujahid
e. Ikrimah
f. Ibnu Abi Malikah

3. Kufah :
a. Alqamah
b. Al Aswad
c. Masruq
d. Ubaidah
e. Umar bin Sarhabil
f. Al Harits bin Qais
g. Ar Rabi' bin Khaitsum
h. Umar bin Maimun
i. Abu Abdur Rahman As Salami
j. Zar bin Hubaisy
k. Ubaid bin Fadlilah
l. Said bin Jabir
m. An Nakha'i
n. Asy Sya'bi

4. Bashrah :a. Abu Aliah
b. Abu Raja'
c. Nashr bin 'Ashim
d. Yahya bin Ya'mur
e. Al Hasan
f. Ibn Sirin
g. Qatadah

5. Syam :a. Al Mughirah bin Abi Syihab Al Makhzumi
b. Khalifah bin Sa'ad


Yang mengambil Al Qur-an dari tabi'in :

1. Madinah :
a. Abu Ja'far Yazid bin Al Qa'qa'
b. Syaibah bin Nasha'
c. Nafi' bin Na'im (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Qalun
 - Warsy


2. Makkah :
a. Abdullah bin Katsir (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Qunbul

 - Al Bazzib. Humaid bin Qais Al A'raj
c. Muhammad bin Abi Muhishan

3. Kufah :a. Yahya bin Watsab
b. Ashim bin abi Najud (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Abu Bakr bin 'Ayyasy

 - Hafsh (Merupakan Qiraat yang paling banyak digunakan di Indonesia)
c. Sulaiman Al 'A'masy
d. Hamzah (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Khalaf
 - Khalad

e. Alkisa-i (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Ad Duri
 - Abu Al Harits


4. Bashrah :
a. Abdullah bin Abi Ishaq
b. Isa bin 'Amr
c. Abu 'Amrun bin Al 'Ala' (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Ad Duri
 - As Susi

d. Ashim bin Al jahdari
e. Ya'qub Al hadlrami

5. Syam :
a. Abdullah bin Amir (Satu dari Imam Qira-ah Sab'ah)
 Yang meriwayatkan :
 - Hisyam
 - Ibn Dzakwan

b. Athiyah bin Al Qais Al Kilabi
c. Ismail bin Abdullah bin Al Muhajir
d. Yahya bin Al Harits Adz Dzamari
e. Syuraih bin Yazid Al Hadlrami

Referensi : Al Itqaan fi 'Uluumil Qur-aan

Qiro'at Sab'ah

Pengantar Qiro’at Sab`ah


Qiro’at sab’ah atau qiro’at tujuh adalah macam cara membaca al-qur’an yang berbeda. Disebut qiro’at tujuh karena ada tujuh imam qiro’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. Tiap imam qiro’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. Tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca qur’an. Sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur.
Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam qiro’at maupun oleh perawinya. Cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Adapun landasannya terdapat pada dua hadits berikut.
Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf. [HR Bukhari – Muslim]
Dari Umar bin Khathab, ia berkata, “aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat Al-Furqon di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. Maka, aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ’siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku’. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu’. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat Al-Furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqon kepadaku. Maka rasulullah berkata, ‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan rasulullah kepadaku. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” [HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir]
mengenai makna dari ‘tujuh huruf’ tersebut ada dua pendapat yang kuat. pertama adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna: Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. kedua adalah tujuh macam perbedaan: Perbedaan isim, Perbedaan fi`il, Perbedaan i`rab, Perbedaan taqdim dan ta’khir, Perbedaan naqis dan ziyadah, Perbedaan ibdal, dan Perbedaan lahjah (tafkhim - tarqiq, fathah - imalah, izhar - idgham, hamzah - tashil, mad - qashr, isymam).
hikmah diturunkannya al-qur’an dengan tujuh huruf antara lain: Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa ummi, Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi kebahasaan orang arab, dan Kemukjizatan dalam aspek makna dan hukum (ketujuh huruf tersebut memberikan deskripsi hukum yang dikandung al-qur’an dengan lebih komprehensif dan universal).
sampai bahasan disini menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan ‘tujuh huruf’ bukanlah ‘qiro’at tujuh’. oleh karena itu, anggapan bahwa ‘tujuh huruf’ menjelaskan huruf pertama adalah qiro’at imam nafi’, huruf kedua adalah qiro’at imam ‘ashim, dan seterusnya yang mengasosiasikan ‘tujuh huruf’ dengan tujuh imam qiro’at adalah pendapat yang keliru.
definisi dari qiro’at adalah Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan Al-Qur’an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur’an) maupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap wajah bacaannya kepada seorang imam qiro’at. hal ini sama sekali berbeda dengan qiro’at yang berarti cara melagukan bacaan al-qur’an.
syarat sah suatu qiro’at agar dapat diterima adalah: Sanad yang mutawatir, Cocok dengan Rasm Utsmani, serta Cocok dengan kaidah bahasa arab. tingkatan sanad qiro’at antara lain: Mutawatir (sanad shahih, perawi banyak dan bersambung sampai Rasulullah), Masyhur (perawi tidak sebanyak mutawatir), Ahad (sanad shahih, tidak cocok dengan Rasm Utsmani dan kaidah bahasa arab), Syadz (sanad tidak shahih), Mudraj (sisipan), Maudhu` (buatan). qiro’at yang aman dan boleh untuk diamalkan adalah qiro’at yang mutawatir dan masyhur.
urgensi qiro’at adalah menjaga kelestarian al-qur’an sebagaimana ia diturunkan. ulama menentukan hukum mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan qiro’at yaitu fardhu kifayah. terkait hal ini, majelis ulama indonesia pernah mengeluarkan fatwa pada tahun 1983 yang berisi: Qiro’at tujuh adalah sebagian dari ulumul qur’an yang wajib dikembangkan dan dipertahankan eksistensinya; Pembacaan qiro’at tujuh dilakukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang berijazah.
hikmah qiro’at tujuh antara lain: Menunjukkan terpeliharanya Al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, Meringankan dan memudahkan umat Islam untuk membaca Al-Qur’an, Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz), Saling menjelaskan perkara yang global diantara qiro’at. oleh karena itu, salah satu kaidah penafsiran adalah dengan mengkaji ilmu qiro’at untuk memperoleh makna dari suatu ayat.
sudah disebutkan bahwa ada tujuh imam qiro’at dan empat belas perawi dengan sanad mutawatir yang bacaannya masyhur. mereka dipilih karena ketinggian ilmu, sifat amanah, dan lamanya mendalami qiro’at. ketujuh imam (bersama perawinya) adalah:
  1. Abu `Amru bin Al-Ala’ (perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi)
  2. Ibnu Katsir (perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul)
  3. Nafi` Al-Madani (perawinya adalah Qalun dan Warsy)
  4. Ibnu Amir Asy-Syami (perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan)
  5. `Ashim Al-Kufi (perawinya adalah Syu`bah dan Hafsh). qiro’at imam ashim riwayat hafsh inilah yang biasa kita baca.
  6. Hamzah Al-Kufi (perawinya adalah Khalaf dan Khalad)
  7. Al-Kisa’i Al-Kufi (perawinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri)
dalam qiro’at juga dikenal apa yang disebut tariqah. tariqah berarti jalan pengambilan ilmu qiro’at. ada beberapa ulama yang mengumpulkan dan mengkaji ilmu qiro’at, diantaranya: Asy-Syatibi dengan kitabnya ‘Hirzul Amani wa Wajhut Tahani’ (disebut tariqah syatibiyah), dan Al-Jazari dengan kitabnya ‘Al-Misbah’ dan ‘Al-Kamil’ (disebut tariqah jazariyah.
demikian, wAllahu a’lam.
Sumber : http://www.lingkaran.org/pengantar-qiro%E2%80%99at-sabah.html/comment-page-1

Macam-macam lagu dalam seni baca Al-Qur'an

Seni baca Al Qur’an ialah bacaan Al Qur’an yang bertajwid diperindah oleh irama dan lagu.
Al Qur’an tidak lepas dari lagu. Di dalam melagukan Al Qur’an atau taghonni dalam membaca Al Qur’an akan lebih indah bila diwarnai dengan macam-macam lagu. Untuk melagukan Al Qur’an , para ahli qurro di Indonesia membagi lagu atas 7 ( tujuh ) macam bagian. Antara lain sebagai berikut :

1. Bayati
2. Shoba
3. Hijaz
4. Nahawand
5. Rost
6. Jiharkah
7. Sikah

Dari 7 ( tujuh ) macam lagu di atas masih dibagi dalam beberapa cabang. Macam – macam lagu dan cabangnya antara lain :
1. Bayati
a. Qoror
b. Nawa
c. Jawab
d. Jawabul jawab
e. Nuzul ( turun )
- shu’ud ( naik )
2. Shoba
a. Dasar
b. Ajami/Ala Ajam
Quflah Bustanjar/Qofiyah
3. Hijaz
a. Dasar
b. Kard
c. Kurd
d. Kard-Kurd
e. Variasi
4. Nahawand
a. Dasar
b. Jawab
c. Nakriz
d. Usysyaq
5. Rost
a. Dasar
b. Nawa/Rost ala Nawa
6. Jiharkah
a. Nawa
b. Jawab
7. Sikah
a. Dasar
b. Iraqi
c. Turki
d. Ramal (fales)

Dalam MTQ ( Musabaqoh Tilawatil Qur’an ) ada beberapa materi penilaian. Antara lain :
1. Materi penilaian bidang tajwid, terdiri dari :
a. Makharijul huruf
b. Shifatul huruf
c. Ahkamul huruf
d. Ahkamul mad wal qoshr
2. Materi penilaian bidang fashohah dan adab, terdiri dari :
a. Al Waqf wal – ibtida
b. Muroatul kalimat wal kharokat
c. Muroatul kalimat wal ayat
d. Adabut tilawah
3. Materi penilaian bidang irama dan suara, terdiri dari :
a. Suara
b. Irama dan variasi
c. Keutuhan dan tempo lagu
d. Pengaturan nafas

Kesalahan dalam bidang suara dan irama
1. Kesalahan dalam suara terdiri dari :
a. Suara kasar
b. Suara pecah
c. Suara parau
d. Suara lemah
2. Kesalahan dalam irama terdiri dari :
a. lagu yang tidak utuh
b. tempo lagu yang terlalu cepat atau terlalu lambat
c. irama dan variasi yang tidak indah
d. pengaturan nafas yang tidak terkendali

Kesalahan dalam bidang Tajwid serta Fashohah dan adab ada dua macam :
1. Kesalahan Jali, yaitu kesalahan yang dapat merusak makna dan merusak ketentuan Tajwid/ qiroat yang sah. Disebut Jali karena kesalahan itu diketahui oleh ahli qiroat maupun yang bukan ahlinya
2. Kesalahan Khafi, yaitu kesalahan yang merusak ketentuan tajwid/qiroat, tetapi tidak merusak makna. Disebut Khafi karena hanya diketahui oleh ulama ahli qiroat saja.

Adab membaca Al-Qur'an Part 2

KEDUA BELAS : MEMBACA DENGAN SUARA YANG BAGUS
Disunahkan untuk menghiasi Al Qur’an dengan suara yang bagus, karena hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Hiban dan yang lainnya :
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، وَفِيْ لَفْظٍ عِنْدَ الدَّارِمِيْ : حَسِّنُوا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا
“Hiasilah Al Qur’an itu dengan suara kalian”. Dan dalam lafadz Ad Darimi : “Perbaikilah Al Qur’an itu dengan suara kalian. Sesungguhnya suara yang baik itu akan menambah Al Qur’an itu menjadi baik”.
Al Bazar dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadits :
حَسَنُ الصَّوْتِ زِيْنَةُ الْقُرْآنِ
“Bagusnya suara itu adalah hiasan Al Qur’an”.
Tentang hal ini ada banyak hadits yang shahih. Jika suaranya tidak bagus, maka dia berusaha untuk memperbaikinya semampunya dengan menjaga agar tidak keluar dari batas berlebi-lebihan”.
Adapun membaca dengan nyanyian-nyanyian, maka Imam Syafi’i menegaskan dalam Al Mukhtashor bahwa itu adalah tidak apa-apa. Dan dari riwayat Rabi’ Al Jaizi bahwa itu adalah makruh.
Imam Ar Rafi’i berkata : “Sesungguhnya tidak ada perbedaan. Tetapi yang makruh adalah jika berlebih-lebihan dalam membaca dengan mad dan dalam memanjangkan harakat-harakat, sehingga ada alif yang keluar dari fathah, atau dlammah yang kleluiar dan wawu dan ya’ yang keluar dari kasrah atau membaca dengan idlgham pada tempat yang tidak dibaca dengannya. Jika tidak sampai pada batasan ini, maka tidak dimakruhkan.
Dia berkata dalam Zawaidur raudlah : “Yang benar bahwa berlebih-lebihan pada hal-hal yang disebutkan itu adalah haram, dimana seorang pembaca akan dinyatakan sebagai orang yang fasik dan pendengarnya akan berdosa. Karena dia telah berpaling dari peraturan yang psati”. Dia berkata : “inilah yang dimaksud dengan perkataan Syafi’i bahwa itu adalah makruh”.
Aku berkata : “tentang hal ini ada sebuah hadits : “Bacalah Al Qur’an itu dengan lahjah-lahjah Arab dan suara-suara mereka. Dan janganlah kalian membaca Al Qur’an itu dengan lahjah-lahjah para ahli dua kitab dan orang-orang yang fasek. Sesungguhnya akan datang orang-orang yang meliuk-liukkan Al Qur’an dengan nyanyian dan kependetaan, yang tidak melampaui leher mereka, hati mereka dan hati mereka yang kagum terhadap mereka itu tertimpa fitnah”. Diriwayatkan oleh Thabrani dan baihaqi.
An Nawawi berkata : “Dusunahkan untuk meminta orang yang baik bacaannya untuk membacanya dan mendengarkan bacaannya, karena adanya hadits yang shahih itu. Tida apa-apa dengan berkumpulnya suatu jama’ah untuk membaca dengan bergiliran. Yaitu sebagain dari jama’ah itu membaca satu bagian dan yang lainnya meneruskan setelahnya”.
KETIGA BELAS : MEMBACA DENGAN TAFKHIM
Disunahkan untuk membaca Al Qur’an dengan tafkhim, karena hadits yang diriwayatkan oleh Hakim : “Al Qur’an itu turun dengan tafkhim“. Al halimi berkata : “maknanya adalah dengan membacanya seperti suara orang laki-laki. Tidak dengan melembut-lembutkannya seperti wanita”. Dia berkata : “Tidak termasuk ke dalam bagian ini imalah yang dipilih oleh beberapa imam qiro’ah. Dan boleh jadi Al Qur’an itu diturunkan dengan tafkhim, kemudian setelah itu datang rukhshah untuk membacanya dengan imalah pada tempat-tempat yang layak untuk dibaca dengan imalah“.
KEEMPAT BELAS : MEMBACA DENGAN SUARA KERAS ATAU LIRIH
Ada beberapa hadits yang memerintahkan untuk mengeraskan suara ketika membaca Al Qur’an dan hadits –hadits yang menyuruh untuk membacanya dengan lirih.
Diantara hadits dalam kelompok yang pertama adalah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim :
مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
“Allah tidak mengijinkan kepada sesuatu seperti Dia mengijinkan kepada seorang nabi yang bagus suaranya untuk menyanyikan Al Qur’an dengan suara yang keras”.
Dan diantara hadits dalam kelompok yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’i :
اَلْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ، وَالْمُسِرِّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al Qur’an dengan keras seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah dan orang yang membaca Al Qur’an dengan lirih seperti orang yang merahasiakan sedekah”.
An Nawawi berkata : “Pengumpulan dari dua hadits ini adalah bahwa membaca dengan lirih adalah lebih baik, jika ditakutkan adanya riya’ atau orang-orang yang sedang melakukan shalat atau sedang tidur merasa terganggu dengan bacaan kerasnya. Dan membaca dengan suara yang keras lebih baik pada waktu yang lainnya. Karena perbuatan untuk mengeraskan itu lebih banyak, faedahnya akan melimpah kepada para pendengar, membangunkan hati pembaca itu sendiri, menarik perhatiannya untuk berpikir, dan pendengarannya ke arahnya, mengilahkan rasa mengatntuk dan menambah semangat. Pengupuloan seperti ini dikuatkan oleh sebuah hadits Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Abu Sa’id : “Rasulullah saw beriktikaf di masjid. Dia mendengar mereka membaca Al Qur’an dengan keras. Maka dia menyingkapkan tabir dan berkata : “Ingatlah kalia semua ini sedang bermunajat kepada Tuhan kalian. Maka janganlah kalian saling mengganggu. Dan janganlah saling meninggikan suaranya untuk membaca”.
Sebagian dari mereka berkata : “Disunahkan untuk membaca dengan keras pada suatu waktu dan membaca dengan lirih pada waktu yang lain. Karena yang membaca dengan lirih itu kadang-kadang mereasa bosan dan menjadi semangat dengan suara yang keras. Dan yang membaca dengan suara yang keras itu kadang-kadang kecapaian dan menjadi beristirahat dengan bacaan yang lirih”.
KELIMA BELAS : MEMBACA DARI MUSHHAF (BIN NADZAR)
Membaca dari mushhaf itu adalah lebih baik daripada membaca dari hafalannya. Karena melihat kepada mushhaf itu adalah ibadah yang diperintahkan. An Nawawi berkata : “Demikianlah yang dikatakan oleh sahabat-sahabat kami dan para ulama salaf dan aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat’. Dia berkata : “Jika dikatakan bahwa hal itu adalah berbeda-beda dari orang yang satu kepada yang lainnya. Maka dipilihlah membaca dari mushhaf jika seseorang itu bisa khusyuk dan merenungkannya pada saat dia membaca dari mushhaf dan dari hafalannya. Dan dipilih membaca dari hafalan bagi lebih bisa membaca dengan khusyu dan lebih dapat merenubngkannya daripada jika dia membaca dari mushhaf. Maka ini adalah pendapat yang baik’.
Aku berkata : “Diantara dalil untuk membaca dari mushhaf adalah hadsits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman dari hadits Aus Ats Tsaqofi dengan cara marfu’ : “Bacaan seorang laki-laki dari selain mushhaf adalah seribu derajat dan bacaannya dari mushhaf adalah dilipatkan dua ribu derajat”.
Abu Ubaid meriwayatkan dengan sanad yang dla’if : “Keutamaan membaca Al Qur’an dengan melihat atas orang yang membacanya dengan hafalan adalah seperti keutamaan yang fardlu atas yang sunah”.
Baihaqi meriwayatkan dari Ibu Mas’ud dengancara marfu’ : “Barangsiapa yang senang untuk mencintai Allah dan rasul-Nya, maka hendaklah dia membaca dari Mushhaf”. Dia berkata : “Ini adalah hadits yang mungkar“.
Dan dia meriwayatkan dengan sanad yang hasan secara mauquf : “Berlama-lamalah kalian melihat mushhaf”.
AzZarkasy meriwayatkan satu pendapat lagi selain yang diriwayatkan oleh An Nawawi, yaitu bahwa membaca dari hafalanadalah lebih utama secara mutlak. Dan sesungguhnya Ibnu Abdis Salam emmilihnya, karena membaca dengannya lebih dapat merenungkan daripada membaca dari mushhaf. [i]

CATATAN
Di dalam Kitab At Tibyan [ii] disebutkan : “Jika seorang pembaca itu merasa ragu dan tidak mengetahui kelanjutan dari bacaan terakhirnya, dan bertanya kepada yang lainnya, maka selayaknya dia menggunakan adab seperti yang diriwayatkan dari Ibnu mas’ud, An nakho’I dan Bisyr bin Abi Mas’ud. Mereka berkata : “Jika salah seorang dari kalian bertanya kepada sauDaranya tetang suatu ayat, maka bacaalah ayat sebelumnya kemudian diam. Dan tidak berkata bagaimana ini, bagaimana ini. Ini akan membuatnya menjadi ragu-ragu”.
Ibnu Mujahid berkata : “Jika seorang pembaca itu ragu-ragu pada suatu huruf, apakah itu ta’ atau ya’, maka hendaklah dia membacanya dengan ya’ karena Al Qur’an itu mudzkkar. Jika dia ragu-ragu pada suatu huruf apakah itu dibaca dengan hamzah atau tidak dibaca dengan hamzah, maka hendaklah dia meninggalkan hamzah. Jika dia ragu-ragu pada suatu huruf apakah itu hamzah washal ataukah hamzah qath’I, maka hendaklah dia membacanya dengan hamzah washal. Jika dia ragu-ragu pada sutau hurur apakah dibaca dengan fathah ataukah kasrah, maka hendaklah dia membacanya dengan fathah. Akren bacan dengan fathah itu bukan merupakan kesalahan pada suatu tempat sedangkan bacaan dengan kasrah itu merupakan kesalahan pada beberapa tempat”.
Aku berkata : “Abdurrazak meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata : ” Jika kalian berselisih pada ya’ ataukah ta’, maka jadikanlah sebagai ya’. Jadikanlah Al Qur’an itu mudzakkar“. Maka Tsa’lab memahami darinya bahwa yang mungkin dibaca dengan mudzkkar dan mu’anats, maka membacanya dengan mudzakkar adalah lebih baik. Ini dibantah bahwa tidak mungkin menghendaki menjadikan mudzkkar terhadap mu’anats yang tidak hakiki karena banyak terdapat dalam Al Qur’an, seperti [iii] { النار وعدها الله } (Neraka yang dijanjika oleh Allah) dan { التفت الساق بالساق }[iv] (Dan tulang kering itu bersentuhan dengan tulang kering) dan { قالت لهم رسلهم } [v] (Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka). Jika menghendaki menjadikan mudzakkar pada mu’annats yang tidak hakiki adalah tidak mungkin, maka pada yang mu’anats hakiki lebih tidak mungkin lagi. Dan tidak mungkin menjadikan kata yang bisa menjadi mudzkkar dan mu’anats sebagai mudzkkar, seperti firman-Nya [vi]{ والنخل باسقات } (Pohon-pohon kurma yang tinggi) dan { أعجاز نخل خاوية }[vii] (Tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk) Ini dijadikan mu’annats, padahal itu dapat dijadikan menjadi mudzkkar. Allah berfirman : { أعجاز نخل منقعر } [viii] dan (Pohon-pohon kurma yang tumbang) { من الشجر الأخضر } [ix] (Dari pohon yang hijau).
Mereka berkata : “Yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Mas’ud ذكّروا adalah bukan memberikan nasehat dan do’a, seperti pada firman Allah [x] { فذكّروا بالقرآن } “Maka ingatkanlah dengan Al qur’an”. tetapi dalam kalimat itu ada huruf jar yang dibuang. Maksudnya adalah ingatkanlah manusia itu dengan Al Qur’an, maksudnya adalah doronglah manusia untuk menghafalkannya agar mereka tidak melupakannya.
Aku berkata : “Permulaan atsar itu tidak memperkenankan pemahaman seperti ini”.
Al Wahidi berkata : “Yang benar adalah pendapat Tsa’lab. Maksudnya adalah jika suatu lafadz itu mungkin mudzakkar dan mungkin mu’anats, dan membacanya dengan mudzkkar tidak bertentangan dengan mushhaf, maka dibaca dengan mudzkkar, seperti: {ولا يقبل منه شفاعة } [xi]( Dan syafa’at tidak diterima dari mereka). Dia berkata Ini dikuatkan dengan pendapat para imam Qiro’ah dari kufah seperti Hamzah dan Kisa’i. madzhab mereka adalah membaca pada lafadz-lafadz ini dengan mudzkkar, seperti { يوم تشهد عليهم ألسنتهم } [xii] (Pada hari dimana lisan-lisan mereka bersaksi atas mereka) .Ini pada selain mu’anats yang tidak hakiki.
KEENAM BELAS : TIDAK MEMOTONG BACAAN UNTUK BERBICARA
Dimakruhkan untuk memotong bacaan untuk berbicara dengan seseorang. Al halimi berkata : “Karena kalam Allah itu tidak boleh dikalahkan oleh pembicaraan yang lainnya”. Ini dikuatkan oleh Baihaqi dengan sebuah riwayat yang shahih : “Ibnu Umar jika membaca Al Qur’an, maka dia tidak berbicara sampai selesai”.
Demikian juga dimakruhkan untuk tertawa dan melakukan perbuatan atau memandang kepada hal-hal yang sia-sia.
KETUJUH BELAS : HARAM
MEMBACA ALQUR’AN DALAM BAHASA ASING
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al Qur’an dengan bahasa asing secara mutlak, baik dia mampu berbahasa Arab ataukah tidak, baik pada waktu shalat atau di luar shalat. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahHa hal itu diperbolehkan secara mutlak. Dan diriwayatkan adri Abu Yusuf bahwa hal itu hanya bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab. Tetapi disebutkan dalam Syarah Al Bazdawi bahwa Abu Hanifah menarik kembali pendapatnya itu. Sebab dilarang adalah karena karena hal itu akan menghilangkan kemukjizatan yang dimaksudnya.
Dari Al Qaffal [xiii] dari sahabat-sahabat kami : “Sesungguhnya membaca Al Qur’an dengan Bahasa Persia adalah tidak dapat dibayangkan”. Ada seseorang yang berkata kepadanya : “jika demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu untuk menterjemahkan Al Qur’an”. Dia berkata : “Tidak demikian. Karena pada penafsiran itu diperbolehkan untuk mendatangkan sebagian dari apa yang dikehendaki oleh Allah dan tidak mengetahui yang lainnya. Adapun jika dia ingin membacanya dengan Bahasa Persia, maka tidak mungkin dia akan mendatangkan semua apa yang dikehendaki oleh Allah. Karena tarjamah adalah mengganti satu lafadz dengan lafadz yang lainnya yang mewakilinya. Dan hal itu adalah tidak mungkin, berbeda dengan tafsir”.
KEDELAPAN BELAS : TIDAK MEMBACA
DENGAN QIRO’AH SYDZAH
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al Qur’an dengan Qiro’ah yang syadz. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan ijma’ pada hal itu. Tetapi Mauhub Al Jazari menyebutkan kebolehannya pada selain shalat, karena mengqiyaskan kepada riwayat hadits dengan makna.
KESEMBILAN BELAS : MEMBACA
SESUAI DENGAN URUTAN MUSHHAF
Yang lebih utama adalah membaca Al Qur’an seperti urutan pada mushhaf. Disebutkan dalam Syarah Al Muhadzab : “Karena urutannya adalah mempunyai hikmah. Maka selayaknya tidak meninggalkan urutan itu kecuali jika ada riwyat dari syari’at, seperti pada shalat Subuh pada Hari um’at dengan Surat Alif lam mim Tanzil dan Hal Ata dan yang lainnya. Jika dia memilah-milah surat atau membaliknya, maka diperbolehkan dan dia meninggalkan yang lebih utama.
Adapun membaca Al Qur’an dari akhir ke awal, maka sepakat dilarang, karena hal itu mengurangi beberapa hal kemukjizatannya dan menghilangkan hikmat urutan itu.
Aku berkata : “Ada atsar tentang hal ini. Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Ibnu Mas’ud bahwa dia ditanya tentang seorang lai-laki yang membaca Al Qur’an dengan terbalij. Dia berkata : “Dia hatinya terbaik”.
Adapun mencampur satu surat dengan syrat yang lainnya, maka Al halimi mengaggap bahwa meninggalkan hal ini adalah termasuk adab, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari Sa’id bin Musayyib bahwa Rasulullah saw melewati Bilal pada saat membaca dari surat ini dan dari surat ini. Dia berkata : “Wahai Bilal. Aku melewatimu mebaca dari surat ini dan surat ini”. Dia berkata : “Yang baik dicampur dengan yang baik”. Dia berkata : “Bacalah surat itu seperti pada urutannya”. Mursal shahih. Hadits ini pada riwayat Abu Dawud maushul dari Abu hurairah dengan tanpa akhiranya.
Abu Ubaid meriwayatkan dari jalur yang lain dari Umar Maula Ghafarah bahwa Rasulullah saw berkata kepada Bilal : “Jika kamu membaca suatu surat, maka teruskanlah”.
Dia berkata : “Mu’azd bin Aun telah brecerita kepada kami bahwa dia berkata : ” Aku bertanya kepada Ibnu Sirin tentang seorang laki-laki yang membaca dua ayat dari suatu surat kemudian dia meninggalkannya dan membaca pada surat yang lainnya. Dia berkata : “Hendaklah seseorang diantara kalian itu takut untuk berbuat dosa besar padahal dia tidak merasa”.
Dia meriwayatkan dari ibnu mas’ud bahwa dia berkata : ” Jika kamu memulai membaca suatu surat, kemudian ingin berpindah kepada yang lainnya, maka berpindahlah kepada Surat Al Ikhlash. Dan jika kamu memulai dengan Surat Al Ikhlash, maka janganlah berpindah kepada yang lainya sampai kamu menghatamkannya”.
Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Hudzail bahwa dia berkata : ” Mereka memakruhkan untuk membaca beberapa ayat dan kemudian meninggalkannya”.
Abu Ubaid berkata : “Yang benar menurut kami adalah makruh untuk membaca ayat-ayat yang berbeda-beda, seperti yang diingkari oleh Rasulullah saw terhadap bilal dan sebagaimana yang dimakruhkan oleh Ibnu Sirin”.
Adapun hadits Ibnu Mas’ud itu maka menurutku adalah pada seorang laki-laki itu membaca pada suatu surat yang ingin disempurnakannya, kemudian dia hendak berpindah kepada yang lainnya. Adapun jika ada orang yang membaca dan dia ingin berpindah-pindah dari satu ayat ke ayat lain dan meninggalakn urutan ayat-ayat Al Qur’an, maka itu hanya dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu. Karena Allah jika menghendaki, maka Dia akan menurunkannya demikian”.
Al Qadli Abu bakar meriwayatkan adanya ijma’ tentang ketidakbolehan membaca Al Qur’an satu ayat satu ayat dari setiap surat.
Baihaqi berkata : “Sebaik-baik hujjah tentang hal ini adalah bahwa sesungguhnya urutan Kitab Allah ini adalah diambil dari Rasulullah saw yang diambilnya dari Jibril. Maka yang lebih baik bagi pembaca adalah jika dia membaca sesuai denngan urutan yang telah diriwayatkan”. Ibnu Sirin berkata : “Urutan yang dibuat oleh Allah adalah lebih baik daripada urutan yang kalian buat”.
KEDUA PULUH : ISTIQOMAH DALAM SATU MACAM QIROAH
Al Halimi berkata : “Diusunahkan untuk menyempurnakan setiap huruf yang telah ditetapkan oleh imam qiro’ah agar dia telah membaca semua hal yang termasuk Al Qur’an. Ibnu Sholah dan An Nawawi berkata : “Jika dia memulai dengan salah satu qiro’ah yang ada maka seyogyanya tidak berpindah dari qiro’ah itu selama perkataan itu masih saling terikat. Dan jika keterikatan itu telah tiada, maka boleh baginya untuk membaca dengan qiro’ah yang lainnya. Yang lebih baik adalah senantiasa meneruskan qiro’ah yang pertama dalam satu majlis itu”.
Yang lainnya melarang hal itu secara mutlak.
Ibnul Jazari berkata : “Yang benar adalah Jika salah satu dari dua qiro’ah itu berurutan atas yang lainnya, maka diharamkan, seperti orang yang membaca : {فتلقى آدم من ربه كلمات } dengan membaca rafa’ pada keduanya atau membaca nashab pada keduanya. Dia mengambil bacaan rafa’ pada آدم dari qiro’ah selain Ibnu Katsir dan membaca rafa’ pada كلمات dari qiro’ahnya. Dan yang seperti ini yang secara bahasa dan nahwu tidak diperbolehkan. Dan yang tidak demikian itu, maka dibedakan antara keadaan sedang meriwayatkan dan yang lainnya. Jika dalam keadaan sedang meriwayatkan, maka juga diharamkan. Karena itu adalah kebohongan dan mencampuradukkan riwayat. Dan jika digunakan untuk tilawah, maka diperbolehkan”.
KEDUA PULUH SATU : TIDAK BERGURAU
Disunahkan untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an dan meninggalkan gurauan atau pembicaraan pada saat ada yang membacanya. Allah berfirman : “Jika Al Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah. Semoga kalian diberi rahmat”. [xiv]
KEDUA PULUH DUA : SUJUD PADA AYAT-AYAT SAJDAH
Disunahkan untuk melakukan sujud ketika membaca ayat sajdah, yaitu sebanyak empat belas : di dalam Al A’raf, Ar Ra’ad, An Nakhl, Al Isra’, Maryam, di dalam Al Hajj ada dua sajdah, Al Furqon, An Naml, Alif lam mim tanzil, Fushshilat, An Najm, Insyiqoq, Al ‘Alaq. Dan adapun yang ada pada Surat Shad, maka dianjurkan, maksudnya bukan detagaskan untuk melakkukan sujud. Dan ada sebagian ulama yang menambahkan akhir Surat Al hijr. Ini diriwayatkan oleh ibnu Faris dalam kitab Ahkamnya.
KEDUA PULUH TIGA : MEMILIH WAKTU-WAKTU YANG UTAMA
An Nawawi berkata : “Waktu-waktu yang dipilih untuk membaca dan yang paling utama adalah ketika sedang melakukan shalat, kemudian pada waktu malam, kemudian pada waktu separuh terakhir. Dan membacanya antara waktu maghrib dan isya’ adalah disukai. Waktu siangn yang terbaik adalah setelah subuh. Dan tidak ada satu waktupun yang dimakruhkan untuk membaca Al Qur’an. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dan Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka memakruhkan membaca Al Qur’an setelah Shalat Ashar dan mereka berkata : “Itu adalah cara belajar orang-orang Yahudi, maka tidak dapat diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari yang dipilih adalah Hari ‘Arafah, kemudian Hari Jum’at, Kemudian Hari senin dan Kemudian Hari Kamis. Dan dari sepertiga bulanan adalah sepuluh terakhir dari Bulan Ramadlan dan sepuluh awal dari bulan Dzul hijjah. Dan bulan yang terpilih adalah Bulan Ramadlan.
Hari yang dipilih unutk memulai membacanya adalah malam Jum’at dan untuk menghatamkannya adalah Hari Malam Kamis. Ibnu Abi Dawud telah meriwayatkan dari Utsman bahwa dia melakukan hal itu.
Yang paling utama adalah menghatamkan pada awal siang atau awal malam. Karena ada riwayat Ad Darimi dengan sanad yang hasan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa dia berkata : ” Jika khatam Al Qur’an itu bertepatan dengan awal malam, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai pagi. Dan jika bertepatan dengan awal siang, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai sore”. Disebutkan dalam Ihya ‘ulumiddin : “Khatam pada awal sianh itu ada pada shalat Shubuh dan awal malam itu pada Shalat Sunat Maghrib”.
KEDUA PULUH EMPAT : BERPUASA PADA HARI KHATAM
Disunahkan untuk berpuasa pada hari khatam itu. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dauwd dari beberapa orang tabi’in. dan juga disunahkan keluarga dan sahabat-sahabatnya hadir pada waktu itu. Thabrani meriwayatkan dari Anas bahwa jika dia menghatamkan Al Qur’an, maka dia mengumpulkan keluarganya dan berdo’a.
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Hakam bin Utaibah bahwa dia berkata : ” Aku diundang oleh Mujahid dan di sana ada Ibnu Abi Umamah. Mereka berdua berkata : “Kami mengundangmu karena kami ingin menghatamkan Al Qur’an. Dan do’a itu dikabulkan ketika ada khatam Al Qur’an”.
Dia meriwayatkan dari Mujahid bahwa dia berkata : ” Mereka berkumpul ketika menghatamkan Al Qur’an. Dan dia berkata : “pada saat itu turunlah rahmat’.
KEDUA PULUH LIMA : MENGUCAPKAN TAKBIR
KETIKA MULAI MEMBACA SRAT ADL DLUHA SAMPAI KHATAM
Disunahkan untuk mengucapkan takbir mulai dari Surat Adl Dluha sampai akhir Al Qur’an. Inilah cara membaca penduduk Makkah. Baihaqi meriwayatkan dalam Sya’bul Iman dan Ibnu huzaimah dari jalur Ibnu Abi Bazzah bahwa dia berkata : ” Aku mendengar Ikrimah bin Sulaiman berkata : “Aku membaca di hadapan Isma’il bin Abdullah Al Makki. Ketika aku sampai pada Surat Adl Dluha, maka dia berkata : “Bacalah takbir sampai khatam. Aku membaca di hadapan Abdullah bin Katsir dan dia menyuruhku melakukan hal itu dan dia berkata : “Aku membaca di hadapan Mujahid dan dia menyuruhku melakukan hal itu”.
Mujahid menceritakan bahwa dia membaca di hadapan ibnu Abbas dan dia menyuruh melakukan hal itu.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa dia membaca di hadapan Ubay bin Ka’ab dan dia menyuruhnya melakukan hal itu. Demikianlah kami meriwayatkannya secara mauquf.
Kemudian Baihaqi meriwayatkan dari jalur yang lain dari Ibnu Bazzah secara marfu’.
Dan Hakim juga meriwayatkan dari jalur yang marfu’ ini dalam Mustadraknya dan dia menyatakannya shahih. Dan dia memiliki jalur yang banyak dari Bizzi.
Diriwayatkan dri Musa bin Harun bahwa dia berkata : ” Bizzi berkata kepadaku : “Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata : “Jika kamu meninggalkan takbir, maka kamu telah kehilangan salah satu sunnah nabi kamu”. Al Hafidz Imaduddin bin Katsir berkata : Ini menunjukkan pernyataanya tentang keshahihan hadits tentang hal ini”.
Abul ‘Ala’ Al Hamadzani meriwayatkan dari Bizzi bahwa dasar hal itu adalah bahwa Rasulullah saw terputus kedatangan wahyu kepadanya. Maka orang-orang musyrik berkata : “Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya”. Maka turunlah surat Adl Dluha. Maka Rasulullah saw bertakbir”. Ibnu Katsir berkata : “Hal itu tidak diriwayatkan dengan suatu sanad yang dapat dinyatakan shahih atau dla’if”.
Al Halimi berkata : “Rahasia dari takbir itu adalah penyerupaan terhadap puasa Bulan Ramadlan jika telah sempurna bilangannya, maka dibacakan takbir. Demikian juga di sini dibacakan takbir, jika telah sempurna bilangan suratnya”. Dia berkata : “caranya adalah dengan berhenti sebentar pada setiap surat dan berkata : “Allaahu Akbar”.
Sulaim Ar Razi dari sahabat-sahabat kami berkata dalam Tafsirnya : “Dia bertakbir diantara dua surat dengan satu takbir dan tidak menyambung akhir surat dengan takbir itu, tetapi memisahkan antara keduanya dengan diam sejenak”. Dia berkata : “Adapun para imam qiro’ah yang tidak membaca takbir, maka hujjah mereka adalah agar menutup jalan untuk adanya tambahan dalam Al Qur’an dengan cara membiasakan membacanya sehingga akan disangka bahwa takbir itu adalah merupakan bagian dari Al Qur’an itu sendiri”.
Di dalam An Nasyr disebutkan : “Para imam qiro’ah berbeda pendaoat dalam permulaannya, apakah dari awal Surat Adl Dluha ataukan dari akhirnya. Dan juga berbeda pendapat pada akhirnya, apakah pada awal surat An Nas ataukah pada akhirnya, serta pada kebolehan membacanya dengan washal dengan akhir surat atau dengan awalnya ataukah harusa memotongnya. Semua perbedaan pendapat itu dasarnya adalah apakah takbir itu untuk awal surat ataukah untuk akhirnya”.
Lafadz dari takbir itu, ada yang mengatakan : “Allaahu Akbar”. Dan ada yang mengatakan : “Laailaaha illallaahu wallaahu akbar”. Dan takbir itu baik dibaca pada waktu shalat ataukan di luar shalat. Ini ditegaskan oelh As Sakhawi dan Abu Syamah.
KEDUA PULU ENAM : MEMBACA DO’A KHATAM AL QUR’AN
Disunahkan untuk membaca do’a segera setelah khatam, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan yang lainnya dari Irbadl bin Sariyah secara marfu’ : “Barangsiapa yang menghatamkan Al Qur’an, maka baginya adalah do’a yang akan dikabulkan”.
Di dalam Sya’bul Iman dari hadits Anas secara marfu’ :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَمِدَ الرَّبَّ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ فَقَدْ طَلَبَ الْخَيْرَ مَكَانَهُ
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, memuji Allah, membaca shalawat kepada Rasulullah saw dan meminta ampunan kepada Allah, maka dia telah meminta kebaikan pada tempatnya”.
KEDUA PULUH TUJUH : MEMULUAI
DARI AWAL LAGI KETIKA TELAH KHATAM
Disunahkan ketika telah selesai menghatamkan Al Qur’an untuk segera memulai dengan membaca dari awal, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan yang lainnya :
أَحَبُّ الأعْمَالِ إِلَى اللَّهِ الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ، لَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ

“Sebaik-baik amal di sisi Allah adalah yang sampai dan yang berangkat, yaitu yang membaca Al Qur’an dari awalnya. Setiap kali dia sampai (khatam), maka dia berangkat memulai dari awal”.
Ad Darimi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah saw jika membaca Surat An Nas, maka dia memulai dengan Surat Al hamdu (Al fatihah), kemudian membaca surat Al Baqoroh sampai kepada أولئك هم المفلحون. Kemudian dia mberdo’a dengan do’a khatam Al Qur’an. Kemudian berdiri”.
CATATAN
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia melarang untuk mengulang-ulang Surat Al Ikhlash ketika khatam. Tetapi apa yang dilakukan oleh manusia berbeda dengannya. Sebagian dari mereka bekata : “Hikmahnya adalah bahwa ada hadits yang menjelaskan bahwa ia adalah sama dengan sepertiga Al Qur’an. Maka dengan pengulangan jadilah seperti satu kali khatam.
Jika dikatakan : “Maka seyogyanya dia membaca empat kali, agar dia memperoleh dua kali khatam”.
Maka kami berkata : “Maksudnya adalah agar dia yakin telah terselesaikan satu kali khatam. Baik itu dengan apa yang dibacanya atau yang dihasilkan dari pahala pengualangan surat itu”.
Aku berkata : “Ringakasnya adalah pengulangan itu kembali kepada penambalan kekurangan yang mungkin terjadi ketika membaca Al Qur’an. Dan sebagaimana Al Halimi mengqiyaskan takbir ketika khatam dengan takbir ketika Bulan Ramadlan telah sempurna, maka selayaknya untuk diqiyaskan pula pengulangan Surat Al Ikhlash itu dengan melanjutkan puasa Ramadlan dengan enam hari di Bulan Syawal”.
KEDUA PULUH DELAPAN : MAKRUH MENJADIKAN AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER MA’ISYA
Dimakruhkan untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai sumber rejeki (ma’isyah). Al Ajuri meriwayatkan sebuah hadits dari Imran bin Hushain secara marfu’ : “Barangsiap yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya. Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengannya”.
Bukhari meriwayatkan dalam At tarikh Al Kabir dengan sanad yang baik sebuah hadits : “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an di hadapan orang yang dzalim agar diangkat derajatnya, maka dia dilaknat pada setiap hurufnya dengan epuluh laknat”.
CATATAN
Dimakruhkan untuk mengatakan : “Aku lupa ayat ini”, tetapi “Aku dilupakan ayat ini” karena ada hadits dari Bukhari dan Muslim yang melarang hal itu.
CATATAN
Tiga imam di bidang fiqih (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad) berpendapat bahwa pahala membaca Al Qur’an itu dapat sampai kepada mayit. Dan madzhab kami berbeda dengannya karena firman Allah : “Dan manusia itu tidak mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan”.