Thursday, June 3, 2010

Adab membaca Al-Qur'an Part 2

KEDUA BELAS : MEMBACA DENGAN SUARA YANG BAGUS
Disunahkan untuk menghiasi Al Qur’an dengan suara yang bagus, karena hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Hiban dan yang lainnya :
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، وَفِيْ لَفْظٍ عِنْدَ الدَّارِمِيْ : حَسِّنُوا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا
“Hiasilah Al Qur’an itu dengan suara kalian”. Dan dalam lafadz Ad Darimi : “Perbaikilah Al Qur’an itu dengan suara kalian. Sesungguhnya suara yang baik itu akan menambah Al Qur’an itu menjadi baik”.
Al Bazar dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadits :
حَسَنُ الصَّوْتِ زِيْنَةُ الْقُرْآنِ
“Bagusnya suara itu adalah hiasan Al Qur’an”.
Tentang hal ini ada banyak hadits yang shahih. Jika suaranya tidak bagus, maka dia berusaha untuk memperbaikinya semampunya dengan menjaga agar tidak keluar dari batas berlebi-lebihan”.
Adapun membaca dengan nyanyian-nyanyian, maka Imam Syafi’i menegaskan dalam Al Mukhtashor bahwa itu adalah tidak apa-apa. Dan dari riwayat Rabi’ Al Jaizi bahwa itu adalah makruh.
Imam Ar Rafi’i berkata : “Sesungguhnya tidak ada perbedaan. Tetapi yang makruh adalah jika berlebih-lebihan dalam membaca dengan mad dan dalam memanjangkan harakat-harakat, sehingga ada alif yang keluar dari fathah, atau dlammah yang kleluiar dan wawu dan ya’ yang keluar dari kasrah atau membaca dengan idlgham pada tempat yang tidak dibaca dengannya. Jika tidak sampai pada batasan ini, maka tidak dimakruhkan.
Dia berkata dalam Zawaidur raudlah : “Yang benar bahwa berlebih-lebihan pada hal-hal yang disebutkan itu adalah haram, dimana seorang pembaca akan dinyatakan sebagai orang yang fasik dan pendengarnya akan berdosa. Karena dia telah berpaling dari peraturan yang psati”. Dia berkata : “inilah yang dimaksud dengan perkataan Syafi’i bahwa itu adalah makruh”.
Aku berkata : “tentang hal ini ada sebuah hadits : “Bacalah Al Qur’an itu dengan lahjah-lahjah Arab dan suara-suara mereka. Dan janganlah kalian membaca Al Qur’an itu dengan lahjah-lahjah para ahli dua kitab dan orang-orang yang fasek. Sesungguhnya akan datang orang-orang yang meliuk-liukkan Al Qur’an dengan nyanyian dan kependetaan, yang tidak melampaui leher mereka, hati mereka dan hati mereka yang kagum terhadap mereka itu tertimpa fitnah”. Diriwayatkan oleh Thabrani dan baihaqi.
An Nawawi berkata : “Dusunahkan untuk meminta orang yang baik bacaannya untuk membacanya dan mendengarkan bacaannya, karena adanya hadits yang shahih itu. Tida apa-apa dengan berkumpulnya suatu jama’ah untuk membaca dengan bergiliran. Yaitu sebagain dari jama’ah itu membaca satu bagian dan yang lainnya meneruskan setelahnya”.
KETIGA BELAS : MEMBACA DENGAN TAFKHIM
Disunahkan untuk membaca Al Qur’an dengan tafkhim, karena hadits yang diriwayatkan oleh Hakim : “Al Qur’an itu turun dengan tafkhim“. Al halimi berkata : “maknanya adalah dengan membacanya seperti suara orang laki-laki. Tidak dengan melembut-lembutkannya seperti wanita”. Dia berkata : “Tidak termasuk ke dalam bagian ini imalah yang dipilih oleh beberapa imam qiro’ah. Dan boleh jadi Al Qur’an itu diturunkan dengan tafkhim, kemudian setelah itu datang rukhshah untuk membacanya dengan imalah pada tempat-tempat yang layak untuk dibaca dengan imalah“.
KEEMPAT BELAS : MEMBACA DENGAN SUARA KERAS ATAU LIRIH
Ada beberapa hadits yang memerintahkan untuk mengeraskan suara ketika membaca Al Qur’an dan hadits –hadits yang menyuruh untuk membacanya dengan lirih.
Diantara hadits dalam kelompok yang pertama adalah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim :
مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
“Allah tidak mengijinkan kepada sesuatu seperti Dia mengijinkan kepada seorang nabi yang bagus suaranya untuk menyanyikan Al Qur’an dengan suara yang keras”.
Dan diantara hadits dalam kelompok yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa’i :
اَلْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ، وَالْمُسِرِّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang membaca Al Qur’an dengan keras seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah dan orang yang membaca Al Qur’an dengan lirih seperti orang yang merahasiakan sedekah”.
An Nawawi berkata : “Pengumpulan dari dua hadits ini adalah bahwa membaca dengan lirih adalah lebih baik, jika ditakutkan adanya riya’ atau orang-orang yang sedang melakukan shalat atau sedang tidur merasa terganggu dengan bacaan kerasnya. Dan membaca dengan suara yang keras lebih baik pada waktu yang lainnya. Karena perbuatan untuk mengeraskan itu lebih banyak, faedahnya akan melimpah kepada para pendengar, membangunkan hati pembaca itu sendiri, menarik perhatiannya untuk berpikir, dan pendengarannya ke arahnya, mengilahkan rasa mengatntuk dan menambah semangat. Pengupuloan seperti ini dikuatkan oleh sebuah hadits Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Abu Sa’id : “Rasulullah saw beriktikaf di masjid. Dia mendengar mereka membaca Al Qur’an dengan keras. Maka dia menyingkapkan tabir dan berkata : “Ingatlah kalia semua ini sedang bermunajat kepada Tuhan kalian. Maka janganlah kalian saling mengganggu. Dan janganlah saling meninggikan suaranya untuk membaca”.
Sebagian dari mereka berkata : “Disunahkan untuk membaca dengan keras pada suatu waktu dan membaca dengan lirih pada waktu yang lain. Karena yang membaca dengan lirih itu kadang-kadang mereasa bosan dan menjadi semangat dengan suara yang keras. Dan yang membaca dengan suara yang keras itu kadang-kadang kecapaian dan menjadi beristirahat dengan bacaan yang lirih”.
KELIMA BELAS : MEMBACA DARI MUSHHAF (BIN NADZAR)
Membaca dari mushhaf itu adalah lebih baik daripada membaca dari hafalannya. Karena melihat kepada mushhaf itu adalah ibadah yang diperintahkan. An Nawawi berkata : “Demikianlah yang dikatakan oleh sahabat-sahabat kami dan para ulama salaf dan aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat’. Dia berkata : “Jika dikatakan bahwa hal itu adalah berbeda-beda dari orang yang satu kepada yang lainnya. Maka dipilihlah membaca dari mushhaf jika seseorang itu bisa khusyuk dan merenungkannya pada saat dia membaca dari mushhaf dan dari hafalannya. Dan dipilih membaca dari hafalan bagi lebih bisa membaca dengan khusyu dan lebih dapat merenubngkannya daripada jika dia membaca dari mushhaf. Maka ini adalah pendapat yang baik’.
Aku berkata : “Diantara dalil untuk membaca dari mushhaf adalah hadsits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman dari hadits Aus Ats Tsaqofi dengan cara marfu’ : “Bacaan seorang laki-laki dari selain mushhaf adalah seribu derajat dan bacaannya dari mushhaf adalah dilipatkan dua ribu derajat”.
Abu Ubaid meriwayatkan dengan sanad yang dla’if : “Keutamaan membaca Al Qur’an dengan melihat atas orang yang membacanya dengan hafalan adalah seperti keutamaan yang fardlu atas yang sunah”.
Baihaqi meriwayatkan dari Ibu Mas’ud dengancara marfu’ : “Barangsiapa yang senang untuk mencintai Allah dan rasul-Nya, maka hendaklah dia membaca dari Mushhaf”. Dia berkata : “Ini adalah hadits yang mungkar“.
Dan dia meriwayatkan dengan sanad yang hasan secara mauquf : “Berlama-lamalah kalian melihat mushhaf”.
AzZarkasy meriwayatkan satu pendapat lagi selain yang diriwayatkan oleh An Nawawi, yaitu bahwa membaca dari hafalanadalah lebih utama secara mutlak. Dan sesungguhnya Ibnu Abdis Salam emmilihnya, karena membaca dengannya lebih dapat merenungkan daripada membaca dari mushhaf. [i]

CATATAN
Di dalam Kitab At Tibyan [ii] disebutkan : “Jika seorang pembaca itu merasa ragu dan tidak mengetahui kelanjutan dari bacaan terakhirnya, dan bertanya kepada yang lainnya, maka selayaknya dia menggunakan adab seperti yang diriwayatkan dari Ibnu mas’ud, An nakho’I dan Bisyr bin Abi Mas’ud. Mereka berkata : “Jika salah seorang dari kalian bertanya kepada sauDaranya tetang suatu ayat, maka bacaalah ayat sebelumnya kemudian diam. Dan tidak berkata bagaimana ini, bagaimana ini. Ini akan membuatnya menjadi ragu-ragu”.
Ibnu Mujahid berkata : “Jika seorang pembaca itu ragu-ragu pada suatu huruf, apakah itu ta’ atau ya’, maka hendaklah dia membacanya dengan ya’ karena Al Qur’an itu mudzkkar. Jika dia ragu-ragu pada suatu huruf apakah itu dibaca dengan hamzah atau tidak dibaca dengan hamzah, maka hendaklah dia meninggalkan hamzah. Jika dia ragu-ragu pada suatu huruf apakah itu hamzah washal ataukah hamzah qath’I, maka hendaklah dia membacanya dengan hamzah washal. Jika dia ragu-ragu pada sutau hurur apakah dibaca dengan fathah ataukah kasrah, maka hendaklah dia membacanya dengan fathah. Akren bacan dengan fathah itu bukan merupakan kesalahan pada suatu tempat sedangkan bacaan dengan kasrah itu merupakan kesalahan pada beberapa tempat”.
Aku berkata : “Abdurrazak meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata : ” Jika kalian berselisih pada ya’ ataukah ta’, maka jadikanlah sebagai ya’. Jadikanlah Al Qur’an itu mudzakkar“. Maka Tsa’lab memahami darinya bahwa yang mungkin dibaca dengan mudzkkar dan mu’anats, maka membacanya dengan mudzakkar adalah lebih baik. Ini dibantah bahwa tidak mungkin menghendaki menjadikan mudzkkar terhadap mu’anats yang tidak hakiki karena banyak terdapat dalam Al Qur’an, seperti [iii] { النار وعدها الله } (Neraka yang dijanjika oleh Allah) dan { التفت الساق بالساق }[iv] (Dan tulang kering itu bersentuhan dengan tulang kering) dan { قالت لهم رسلهم } [v] (Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka). Jika menghendaki menjadikan mudzakkar pada mu’annats yang tidak hakiki adalah tidak mungkin, maka pada yang mu’anats hakiki lebih tidak mungkin lagi. Dan tidak mungkin menjadikan kata yang bisa menjadi mudzkkar dan mu’anats sebagai mudzkkar, seperti firman-Nya [vi]{ والنخل باسقات } (Pohon-pohon kurma yang tinggi) dan { أعجاز نخل خاوية }[vii] (Tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk) Ini dijadikan mu’annats, padahal itu dapat dijadikan menjadi mudzkkar. Allah berfirman : { أعجاز نخل منقعر } [viii] dan (Pohon-pohon kurma yang tumbang) { من الشجر الأخضر } [ix] (Dari pohon yang hijau).
Mereka berkata : “Yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Mas’ud ذكّروا adalah bukan memberikan nasehat dan do’a, seperti pada firman Allah [x] { فذكّروا بالقرآن } “Maka ingatkanlah dengan Al qur’an”. tetapi dalam kalimat itu ada huruf jar yang dibuang. Maksudnya adalah ingatkanlah manusia itu dengan Al Qur’an, maksudnya adalah doronglah manusia untuk menghafalkannya agar mereka tidak melupakannya.
Aku berkata : “Permulaan atsar itu tidak memperkenankan pemahaman seperti ini”.
Al Wahidi berkata : “Yang benar adalah pendapat Tsa’lab. Maksudnya adalah jika suatu lafadz itu mungkin mudzakkar dan mungkin mu’anats, dan membacanya dengan mudzkkar tidak bertentangan dengan mushhaf, maka dibaca dengan mudzkkar, seperti: {ولا يقبل منه شفاعة } [xi]( Dan syafa’at tidak diterima dari mereka). Dia berkata Ini dikuatkan dengan pendapat para imam Qiro’ah dari kufah seperti Hamzah dan Kisa’i. madzhab mereka adalah membaca pada lafadz-lafadz ini dengan mudzkkar, seperti { يوم تشهد عليهم ألسنتهم } [xii] (Pada hari dimana lisan-lisan mereka bersaksi atas mereka) .Ini pada selain mu’anats yang tidak hakiki.
KEENAM BELAS : TIDAK MEMOTONG BACAAN UNTUK BERBICARA
Dimakruhkan untuk memotong bacaan untuk berbicara dengan seseorang. Al halimi berkata : “Karena kalam Allah itu tidak boleh dikalahkan oleh pembicaraan yang lainnya”. Ini dikuatkan oleh Baihaqi dengan sebuah riwayat yang shahih : “Ibnu Umar jika membaca Al Qur’an, maka dia tidak berbicara sampai selesai”.
Demikian juga dimakruhkan untuk tertawa dan melakukan perbuatan atau memandang kepada hal-hal yang sia-sia.
KETUJUH BELAS : HARAM
MEMBACA ALQUR’AN DALAM BAHASA ASING
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al Qur’an dengan bahasa asing secara mutlak, baik dia mampu berbahasa Arab ataukah tidak, baik pada waktu shalat atau di luar shalat. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahHa hal itu diperbolehkan secara mutlak. Dan diriwayatkan adri Abu Yusuf bahwa hal itu hanya bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab. Tetapi disebutkan dalam Syarah Al Bazdawi bahwa Abu Hanifah menarik kembali pendapatnya itu. Sebab dilarang adalah karena karena hal itu akan menghilangkan kemukjizatan yang dimaksudnya.
Dari Al Qaffal [xiii] dari sahabat-sahabat kami : “Sesungguhnya membaca Al Qur’an dengan Bahasa Persia adalah tidak dapat dibayangkan”. Ada seseorang yang berkata kepadanya : “jika demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu untuk menterjemahkan Al Qur’an”. Dia berkata : “Tidak demikian. Karena pada penafsiran itu diperbolehkan untuk mendatangkan sebagian dari apa yang dikehendaki oleh Allah dan tidak mengetahui yang lainnya. Adapun jika dia ingin membacanya dengan Bahasa Persia, maka tidak mungkin dia akan mendatangkan semua apa yang dikehendaki oleh Allah. Karena tarjamah adalah mengganti satu lafadz dengan lafadz yang lainnya yang mewakilinya. Dan hal itu adalah tidak mungkin, berbeda dengan tafsir”.
KEDELAPAN BELAS : TIDAK MEMBACA
DENGAN QIRO’AH SYDZAH
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al Qur’an dengan Qiro’ah yang syadz. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan ijma’ pada hal itu. Tetapi Mauhub Al Jazari menyebutkan kebolehannya pada selain shalat, karena mengqiyaskan kepada riwayat hadits dengan makna.
KESEMBILAN BELAS : MEMBACA
SESUAI DENGAN URUTAN MUSHHAF
Yang lebih utama adalah membaca Al Qur’an seperti urutan pada mushhaf. Disebutkan dalam Syarah Al Muhadzab : “Karena urutannya adalah mempunyai hikmah. Maka selayaknya tidak meninggalkan urutan itu kecuali jika ada riwyat dari syari’at, seperti pada shalat Subuh pada Hari um’at dengan Surat Alif lam mim Tanzil dan Hal Ata dan yang lainnya. Jika dia memilah-milah surat atau membaliknya, maka diperbolehkan dan dia meninggalkan yang lebih utama.
Adapun membaca Al Qur’an dari akhir ke awal, maka sepakat dilarang, karena hal itu mengurangi beberapa hal kemukjizatannya dan menghilangkan hikmat urutan itu.
Aku berkata : “Ada atsar tentang hal ini. Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Ibnu Mas’ud bahwa dia ditanya tentang seorang lai-laki yang membaca Al Qur’an dengan terbalij. Dia berkata : “Dia hatinya terbaik”.
Adapun mencampur satu surat dengan syrat yang lainnya, maka Al halimi mengaggap bahwa meninggalkan hal ini adalah termasuk adab, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari Sa’id bin Musayyib bahwa Rasulullah saw melewati Bilal pada saat membaca dari surat ini dan dari surat ini. Dia berkata : “Wahai Bilal. Aku melewatimu mebaca dari surat ini dan surat ini”. Dia berkata : “Yang baik dicampur dengan yang baik”. Dia berkata : “Bacalah surat itu seperti pada urutannya”. Mursal shahih. Hadits ini pada riwayat Abu Dawud maushul dari Abu hurairah dengan tanpa akhiranya.
Abu Ubaid meriwayatkan dari jalur yang lain dari Umar Maula Ghafarah bahwa Rasulullah saw berkata kepada Bilal : “Jika kamu membaca suatu surat, maka teruskanlah”.
Dia berkata : “Mu’azd bin Aun telah brecerita kepada kami bahwa dia berkata : ” Aku bertanya kepada Ibnu Sirin tentang seorang laki-laki yang membaca dua ayat dari suatu surat kemudian dia meninggalkannya dan membaca pada surat yang lainnya. Dia berkata : “Hendaklah seseorang diantara kalian itu takut untuk berbuat dosa besar padahal dia tidak merasa”.
Dia meriwayatkan dari ibnu mas’ud bahwa dia berkata : ” Jika kamu memulai membaca suatu surat, kemudian ingin berpindah kepada yang lainnya, maka berpindahlah kepada Surat Al Ikhlash. Dan jika kamu memulai dengan Surat Al Ikhlash, maka janganlah berpindah kepada yang lainya sampai kamu menghatamkannya”.
Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Hudzail bahwa dia berkata : ” Mereka memakruhkan untuk membaca beberapa ayat dan kemudian meninggalkannya”.
Abu Ubaid berkata : “Yang benar menurut kami adalah makruh untuk membaca ayat-ayat yang berbeda-beda, seperti yang diingkari oleh Rasulullah saw terhadap bilal dan sebagaimana yang dimakruhkan oleh Ibnu Sirin”.
Adapun hadits Ibnu Mas’ud itu maka menurutku adalah pada seorang laki-laki itu membaca pada suatu surat yang ingin disempurnakannya, kemudian dia hendak berpindah kepada yang lainnya. Adapun jika ada orang yang membaca dan dia ingin berpindah-pindah dari satu ayat ke ayat lain dan meninggalakn urutan ayat-ayat Al Qur’an, maka itu hanya dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu. Karena Allah jika menghendaki, maka Dia akan menurunkannya demikian”.
Al Qadli Abu bakar meriwayatkan adanya ijma’ tentang ketidakbolehan membaca Al Qur’an satu ayat satu ayat dari setiap surat.
Baihaqi berkata : “Sebaik-baik hujjah tentang hal ini adalah bahwa sesungguhnya urutan Kitab Allah ini adalah diambil dari Rasulullah saw yang diambilnya dari Jibril. Maka yang lebih baik bagi pembaca adalah jika dia membaca sesuai denngan urutan yang telah diriwayatkan”. Ibnu Sirin berkata : “Urutan yang dibuat oleh Allah adalah lebih baik daripada urutan yang kalian buat”.
KEDUA PULUH : ISTIQOMAH DALAM SATU MACAM QIROAH
Al Halimi berkata : “Diusunahkan untuk menyempurnakan setiap huruf yang telah ditetapkan oleh imam qiro’ah agar dia telah membaca semua hal yang termasuk Al Qur’an. Ibnu Sholah dan An Nawawi berkata : “Jika dia memulai dengan salah satu qiro’ah yang ada maka seyogyanya tidak berpindah dari qiro’ah itu selama perkataan itu masih saling terikat. Dan jika keterikatan itu telah tiada, maka boleh baginya untuk membaca dengan qiro’ah yang lainnya. Yang lebih baik adalah senantiasa meneruskan qiro’ah yang pertama dalam satu majlis itu”.
Yang lainnya melarang hal itu secara mutlak.
Ibnul Jazari berkata : “Yang benar adalah Jika salah satu dari dua qiro’ah itu berurutan atas yang lainnya, maka diharamkan, seperti orang yang membaca : {فتلقى آدم من ربه كلمات } dengan membaca rafa’ pada keduanya atau membaca nashab pada keduanya. Dia mengambil bacaan rafa’ pada آدم dari qiro’ah selain Ibnu Katsir dan membaca rafa’ pada كلمات dari qiro’ahnya. Dan yang seperti ini yang secara bahasa dan nahwu tidak diperbolehkan. Dan yang tidak demikian itu, maka dibedakan antara keadaan sedang meriwayatkan dan yang lainnya. Jika dalam keadaan sedang meriwayatkan, maka juga diharamkan. Karena itu adalah kebohongan dan mencampuradukkan riwayat. Dan jika digunakan untuk tilawah, maka diperbolehkan”.
KEDUA PULUH SATU : TIDAK BERGURAU
Disunahkan untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an dan meninggalkan gurauan atau pembicaraan pada saat ada yang membacanya. Allah berfirman : “Jika Al Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah. Semoga kalian diberi rahmat”. [xiv]
KEDUA PULUH DUA : SUJUD PADA AYAT-AYAT SAJDAH
Disunahkan untuk melakukan sujud ketika membaca ayat sajdah, yaitu sebanyak empat belas : di dalam Al A’raf, Ar Ra’ad, An Nakhl, Al Isra’, Maryam, di dalam Al Hajj ada dua sajdah, Al Furqon, An Naml, Alif lam mim tanzil, Fushshilat, An Najm, Insyiqoq, Al ‘Alaq. Dan adapun yang ada pada Surat Shad, maka dianjurkan, maksudnya bukan detagaskan untuk melakkukan sujud. Dan ada sebagian ulama yang menambahkan akhir Surat Al hijr. Ini diriwayatkan oleh ibnu Faris dalam kitab Ahkamnya.
KEDUA PULUH TIGA : MEMILIH WAKTU-WAKTU YANG UTAMA
An Nawawi berkata : “Waktu-waktu yang dipilih untuk membaca dan yang paling utama adalah ketika sedang melakukan shalat, kemudian pada waktu malam, kemudian pada waktu separuh terakhir. Dan membacanya antara waktu maghrib dan isya’ adalah disukai. Waktu siangn yang terbaik adalah setelah subuh. Dan tidak ada satu waktupun yang dimakruhkan untuk membaca Al Qur’an. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dan Mu’adz bin Rifa’ah dari guru-gurunya bahwa mereka memakruhkan membaca Al Qur’an setelah Shalat Ashar dan mereka berkata : “Itu adalah cara belajar orang-orang Yahudi, maka tidak dapat diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari yang dipilih adalah Hari ‘Arafah, kemudian Hari Jum’at, Kemudian Hari senin dan Kemudian Hari Kamis. Dan dari sepertiga bulanan adalah sepuluh terakhir dari Bulan Ramadlan dan sepuluh awal dari bulan Dzul hijjah. Dan bulan yang terpilih adalah Bulan Ramadlan.
Hari yang dipilih unutk memulai membacanya adalah malam Jum’at dan untuk menghatamkannya adalah Hari Malam Kamis. Ibnu Abi Dawud telah meriwayatkan dari Utsman bahwa dia melakukan hal itu.
Yang paling utama adalah menghatamkan pada awal siang atau awal malam. Karena ada riwayat Ad Darimi dengan sanad yang hasan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa dia berkata : ” Jika khatam Al Qur’an itu bertepatan dengan awal malam, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai pagi. Dan jika bertepatan dengan awal siang, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai sore”. Disebutkan dalam Ihya ‘ulumiddin : “Khatam pada awal sianh itu ada pada shalat Shubuh dan awal malam itu pada Shalat Sunat Maghrib”.
KEDUA PULUH EMPAT : BERPUASA PADA HARI KHATAM
Disunahkan untuk berpuasa pada hari khatam itu. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dauwd dari beberapa orang tabi’in. dan juga disunahkan keluarga dan sahabat-sahabatnya hadir pada waktu itu. Thabrani meriwayatkan dari Anas bahwa jika dia menghatamkan Al Qur’an, maka dia mengumpulkan keluarganya dan berdo’a.
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Hakam bin Utaibah bahwa dia berkata : ” Aku diundang oleh Mujahid dan di sana ada Ibnu Abi Umamah. Mereka berdua berkata : “Kami mengundangmu karena kami ingin menghatamkan Al Qur’an. Dan do’a itu dikabulkan ketika ada khatam Al Qur’an”.
Dia meriwayatkan dari Mujahid bahwa dia berkata : ” Mereka berkumpul ketika menghatamkan Al Qur’an. Dan dia berkata : “pada saat itu turunlah rahmat’.
KEDUA PULUH LIMA : MENGUCAPKAN TAKBIR
KETIKA MULAI MEMBACA SRAT ADL DLUHA SAMPAI KHATAM
Disunahkan untuk mengucapkan takbir mulai dari Surat Adl Dluha sampai akhir Al Qur’an. Inilah cara membaca penduduk Makkah. Baihaqi meriwayatkan dalam Sya’bul Iman dan Ibnu huzaimah dari jalur Ibnu Abi Bazzah bahwa dia berkata : ” Aku mendengar Ikrimah bin Sulaiman berkata : “Aku membaca di hadapan Isma’il bin Abdullah Al Makki. Ketika aku sampai pada Surat Adl Dluha, maka dia berkata : “Bacalah takbir sampai khatam. Aku membaca di hadapan Abdullah bin Katsir dan dia menyuruhku melakukan hal itu dan dia berkata : “Aku membaca di hadapan Mujahid dan dia menyuruhku melakukan hal itu”.
Mujahid menceritakan bahwa dia membaca di hadapan ibnu Abbas dan dia menyuruh melakukan hal itu.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa dia membaca di hadapan Ubay bin Ka’ab dan dia menyuruhnya melakukan hal itu. Demikianlah kami meriwayatkannya secara mauquf.
Kemudian Baihaqi meriwayatkan dari jalur yang lain dari Ibnu Bazzah secara marfu’.
Dan Hakim juga meriwayatkan dari jalur yang marfu’ ini dalam Mustadraknya dan dia menyatakannya shahih. Dan dia memiliki jalur yang banyak dari Bizzi.
Diriwayatkan dri Musa bin Harun bahwa dia berkata : ” Bizzi berkata kepadaku : “Muhammad bin Idris Asy Syafi’i berkata : “Jika kamu meninggalkan takbir, maka kamu telah kehilangan salah satu sunnah nabi kamu”. Al Hafidz Imaduddin bin Katsir berkata : Ini menunjukkan pernyataanya tentang keshahihan hadits tentang hal ini”.
Abul ‘Ala’ Al Hamadzani meriwayatkan dari Bizzi bahwa dasar hal itu adalah bahwa Rasulullah saw terputus kedatangan wahyu kepadanya. Maka orang-orang musyrik berkata : “Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya”. Maka turunlah surat Adl Dluha. Maka Rasulullah saw bertakbir”. Ibnu Katsir berkata : “Hal itu tidak diriwayatkan dengan suatu sanad yang dapat dinyatakan shahih atau dla’if”.
Al Halimi berkata : “Rahasia dari takbir itu adalah penyerupaan terhadap puasa Bulan Ramadlan jika telah sempurna bilangannya, maka dibacakan takbir. Demikian juga di sini dibacakan takbir, jika telah sempurna bilangan suratnya”. Dia berkata : “caranya adalah dengan berhenti sebentar pada setiap surat dan berkata : “Allaahu Akbar”.
Sulaim Ar Razi dari sahabat-sahabat kami berkata dalam Tafsirnya : “Dia bertakbir diantara dua surat dengan satu takbir dan tidak menyambung akhir surat dengan takbir itu, tetapi memisahkan antara keduanya dengan diam sejenak”. Dia berkata : “Adapun para imam qiro’ah yang tidak membaca takbir, maka hujjah mereka adalah agar menutup jalan untuk adanya tambahan dalam Al Qur’an dengan cara membiasakan membacanya sehingga akan disangka bahwa takbir itu adalah merupakan bagian dari Al Qur’an itu sendiri”.
Di dalam An Nasyr disebutkan : “Para imam qiro’ah berbeda pendaoat dalam permulaannya, apakah dari awal Surat Adl Dluha ataukan dari akhirnya. Dan juga berbeda pendapat pada akhirnya, apakah pada awal surat An Nas ataukah pada akhirnya, serta pada kebolehan membacanya dengan washal dengan akhir surat atau dengan awalnya ataukah harusa memotongnya. Semua perbedaan pendapat itu dasarnya adalah apakah takbir itu untuk awal surat ataukah untuk akhirnya”.
Lafadz dari takbir itu, ada yang mengatakan : “Allaahu Akbar”. Dan ada yang mengatakan : “Laailaaha illallaahu wallaahu akbar”. Dan takbir itu baik dibaca pada waktu shalat ataukan di luar shalat. Ini ditegaskan oelh As Sakhawi dan Abu Syamah.
KEDUA PULU ENAM : MEMBACA DO’A KHATAM AL QUR’AN
Disunahkan untuk membaca do’a segera setelah khatam, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan yang lainnya dari Irbadl bin Sariyah secara marfu’ : “Barangsiapa yang menghatamkan Al Qur’an, maka baginya adalah do’a yang akan dikabulkan”.
Di dalam Sya’bul Iman dari hadits Anas secara marfu’ :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَمِدَ الرَّبَّ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ فَقَدْ طَلَبَ الْخَيْرَ مَكَانَهُ
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, memuji Allah, membaca shalawat kepada Rasulullah saw dan meminta ampunan kepada Allah, maka dia telah meminta kebaikan pada tempatnya”.
KEDUA PULUH TUJUH : MEMULUAI
DARI AWAL LAGI KETIKA TELAH KHATAM
Disunahkan ketika telah selesai menghatamkan Al Qur’an untuk segera memulai dengan membaca dari awal, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan yang lainnya :
أَحَبُّ الأعْمَالِ إِلَى اللَّهِ الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ، لَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ

“Sebaik-baik amal di sisi Allah adalah yang sampai dan yang berangkat, yaitu yang membaca Al Qur’an dari awalnya. Setiap kali dia sampai (khatam), maka dia berangkat memulai dari awal”.
Ad Darimi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah saw jika membaca Surat An Nas, maka dia memulai dengan Surat Al hamdu (Al fatihah), kemudian membaca surat Al Baqoroh sampai kepada أولئك هم المفلحون. Kemudian dia mberdo’a dengan do’a khatam Al Qur’an. Kemudian berdiri”.
CATATAN
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia melarang untuk mengulang-ulang Surat Al Ikhlash ketika khatam. Tetapi apa yang dilakukan oleh manusia berbeda dengannya. Sebagian dari mereka bekata : “Hikmahnya adalah bahwa ada hadits yang menjelaskan bahwa ia adalah sama dengan sepertiga Al Qur’an. Maka dengan pengulangan jadilah seperti satu kali khatam.
Jika dikatakan : “Maka seyogyanya dia membaca empat kali, agar dia memperoleh dua kali khatam”.
Maka kami berkata : “Maksudnya adalah agar dia yakin telah terselesaikan satu kali khatam. Baik itu dengan apa yang dibacanya atau yang dihasilkan dari pahala pengualangan surat itu”.
Aku berkata : “Ringakasnya adalah pengulangan itu kembali kepada penambalan kekurangan yang mungkin terjadi ketika membaca Al Qur’an. Dan sebagaimana Al Halimi mengqiyaskan takbir ketika khatam dengan takbir ketika Bulan Ramadlan telah sempurna, maka selayaknya untuk diqiyaskan pula pengulangan Surat Al Ikhlash itu dengan melanjutkan puasa Ramadlan dengan enam hari di Bulan Syawal”.
KEDUA PULUH DELAPAN : MAKRUH MENJADIKAN AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER MA’ISYA
Dimakruhkan untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai sumber rejeki (ma’isyah). Al Ajuri meriwayatkan sebuah hadits dari Imran bin Hushain secara marfu’ : “Barangsiap yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya. Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengannya”.
Bukhari meriwayatkan dalam At tarikh Al Kabir dengan sanad yang baik sebuah hadits : “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an di hadapan orang yang dzalim agar diangkat derajatnya, maka dia dilaknat pada setiap hurufnya dengan epuluh laknat”.
CATATAN
Dimakruhkan untuk mengatakan : “Aku lupa ayat ini”, tetapi “Aku dilupakan ayat ini” karena ada hadits dari Bukhari dan Muslim yang melarang hal itu.
CATATAN
Tiga imam di bidang fiqih (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad) berpendapat bahwa pahala membaca Al Qur’an itu dapat sampai kepada mayit. Dan madzhab kami berbeda dengannya karena firman Allah : “Dan manusia itu tidak mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan”.

0 comments:

Post a Comment