Thursday, June 3, 2010

Adab membaca Al-Qur'an

INILAH PERINCIAN ADAB-ADAB MEMBACA AL QUR’AN
PERTAMA : BERWUDLU SEBELUM MEMBACA AL QUR’AN
Disunatkan untuk berwudlu untuk membaca Al Qur’an, karena itu adalah dzikir yang paling baik. Rasulullah saw membenci untuk berdzikir kepada Allah, kecuali dalam keadaan suci, seperti yang telah ditegaskan dalam hadits.
Imamul Haramain Al Juwaini berkata : “Dan tidak dimakruhkan membaca Al Qur’an bagi seseorang yang berhadas. Karena telah shahih dari Rasulullah saw bahwa dia membaca Al Qur’an dalam keadaan berhadas”.
Di dalam Syarah Al muhadzab disebutkan : “Jika sedang membaca, kemudian dia merasa akan keluar kentut, maka dia menahan bacaannya sehingga keluar dengan sempurna. Adapun orang yang junub dan haid, maka keduanya diharamkan untuk membaca. Ya, boleh bagi keduanya untuk melihat mushhaf dan membacanya dalam hati. Adapun orang yang mulutnya terkena najis, maka dimakruhkan baginya untuk membaca”.
Dan dikatakan : “Diharamkan, seperti haramnya menyentuh mushhaf bagi tangan yang najis”.
KEDUA : MEMBACA AL QUR’AN DI TEMPAT YANG SUCI
Disunahkan membaca Al Qur’an di tempat yang suci. Dan yang paling utama adalah di masjid. Ada sekelompok ulama yang memakruhkan membaca Al Qur’an di kamar mandi dan jalan. An nawawi berkata : “Madzhab kami adalah tidak dimakruhkan. Sya’bi memakruhkan membacanya ditempat yang jauh dari kebersiahan dan di tempat penggilingan pada saat gilingan itu berputar”. Dia berkata : “Inilah yang seharusnya pada madzhab kami”.
KETIGA : MENGHADAP KIBLAT
Disunnahkan untuk duduk sambil menghadap qiblat dengan khusyu’ dengan tenag dan menundukkan kepala.
KEMPAT : BERSIWAK
Disunahkan untuk bersiwak sebagai penghormatan dan pengagungan. Ibnu Majah Bazar telah meriwayatkan dari Ali secara mauquf dan Al Bazar dengan sanad yang baik secara marfu’ : “Sesungguhnya mulut-mulut kalian itu adalah jalan bagi Al Qur’an. Maka bersihkanlah dengan siwak’.
Aku berkata : “jika dia memotong bacaan dan kembali lagi membaca dalam waktu dekat, maka jika dia dianjurkan untuk mengulangi membaca ta’awudz, maka seharusnya dia juga disunahkan untuk mengulagi bersiwak juga”.
KELIMA : MEMBACA TA’AWUDZ
Disunahkan untuk membaca ta’awudz sebelum membaca. Allah berfirman :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Jika kamu membaca Al Qur’an, maka memintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”. [i]
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa ta’awudz itu setelah membaca Al Qur’an karena ayat itu menggunakan fi’il madli. Dan ada beberapa ulama yang berpendpat bahwa memabcanya adalah wajib karena dhahir perintah pada ayat itu.
An Nawawi berkata : “jika dia berjalan melewati suatu kaum dalam keadaan sedang membaca AL Qur’an dan mengucapkan salam kepada mereka, kemudian kembali membaca, jika dia mengulangi bacan ta’awudznya, maka itu adalah baik”.
Dia berkata : “Bacaanya yang terpilih adalah أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Ada beberapa ulama salaf yang menambah dengan السميع العليم (Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Diriwayatkan dari Hamzah, salah seorang imam qiro’ah sab’ah bahwa menggunakan أستعيذ (aku meminta perlindungan), نستعيذ (kami meminta perlindungan) استعذت (Aku telah meminta perlindungan). Yang terakhir inilah yang dipilih oleh pengarah Al Hidayah dari Madzhab Hanafi karena sesuai dengan lafadz dalam Al Qur’an.
Dari Humaid bin Qais : أعوذ بالله القادر من الشيطان الغادر (Aku berlindung dari Allah Yang Maha Kuasa dari setan yang pendusta).
Dari Abus Samal : أعوذ بالله القوي من الشيطان الغوي (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Kuat dari setan yang sesat).
Dari beberapa ulama : “ أعوذ بالله العظيم من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mulia dari godaan setan yang terkutuk).
Dari yang lainnya : “ إن الله هو السميع العليم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Dan masih ada lafadz-lafadz yang lain.
Al Hulwani berkata dalam Kitab Jami’nya : “Ta’awudz ini tidak memiliki batas akhirnya. Barangsiapa yang menginkan maka dia boleh menambah sesukanya dan barangsiapa yang meninginkan untuk mengurangi, maka juga diperbolehkan”.
Di dalam An nasyr disebutkan : “Yang dipilih oleh para imam qiro’ah adalah membacanya dengan keras. Ada yang mengatakan ta’awudz itu dibaca dengan lirih secara mutlak. Ada yang mengatakan pada selain Surat Al Fatihah. Dia berkata : “Mereka telah memutlakkan memilih membacanya dengan keras. Abu Syamah memberikan batasan yang harus ada, yaitu jika ada seseorang yang mendengarkan bacaannya. Dia berkata : “karena membaca ta’awaudz dengan keras adalah dapat menampakkan syi’ar bacaan seperti membaca talbiyah dan takbir pada hari raya dengan keras. Daintara faedahnya adalah agar pendengar mendengarkan dari awal bacaan, tidak ada satupun yang terlewatkan. Jika dia membacanya dengan lirih, maka pendengar itu tidak mengetahui bacaanya kecuali setelah ada beberapa hal yang trelewatkan. Inilah makna pembeda anatar bacaan pada waktu shalat dan selain shalat”.
Dia berkata : “Para ulama mutakhirin berbeda pendapat tentang makna menyamarkannya. Jumhur berpendapat bahwa maksudnya adalah membacanya dengan lirih. Jadi harus dibaca dan dapat didengar oleh dirinya sendiri. Ada yang mengatakan maksudnya adalah menyembunyikannya dengan menyebutkan dalam hati tanpa mengucapkannya”.
Dia berkata : “Jika dia memotong bacaan atau menyelainya dengan perkataan yang lain –walupun karena menjawab salam-, maka dia mengulanginya. Dan jika pemotongan itu berhubungan dengan kemashlahatan bacaan, maka tidak mengulanginya”.
Dia berkata : “Apakah ta’awudz itu sunnah kifayah atau sunnah ‘ainiyah, dimana jika ada jama’ah yang berkumpul kemudian slah seorang dari mereka membaca ta’awudz, maka apakah itu mencukupi bagi mereka semua ataukah tidak mencukupi, seperti membaca basmalah pada waktu makan ?”. Aku tidak menemukan adanya nash di sini. Tetapi yang dzahir adalah yang kedua. Karena maksud dari ta’awudz itu adalah permintaan perlindungan dari seorang pembaca kepada Allah dari godaan setan. Maka bacaan ta’awudz dari slah seorang mereka tidaklah mencukupi bagi yang lainnya”. Selesai perkataan Ibnul Jazari. [ii]
KEENAM : MEMBACA BASMALAH DI AWAL SETIAP SURAT
Hendaklah dijaga bacaan basmalah di awal setiap surat, selain Surat Bara’ah. Karena menurut kebanyakan ulama basmalah adalah satu ayat. Jika basmalah itu termasuk salah satu darinya, maka dia tidak menghatamkannya menurut pendapat kebanyakan ulama. Jika mulai membaca di awal surat, maka disunnahkan untuk membacanya juga. Ini ditegaskan oleh Imam Syafi’i yang diriwayatkan oleh Al ‘Ibadi.
Para ahli qiro’ah berkata : “Dan lebih dianjurkan lagi ketika membaca firman Allah : {إليه يرد علم الساعة }[iii] kepadanya dikembalikan ilmu tentang hari kiamat”. [iv] dan firman Allah { وهو الذي أنشأ جنّات } [v]: “Dialah yang menumbuhkan kebun-kebun”.[vi] Karena penyebutan ayat-ayat ini setelah bacaan ta’awudz adalah sangat jelek. Karena dikhawatirkan adanya kesalahpahaman kembalinya dlamir (dia) kepada setan.
Ibnul Jazari berkata : “Memulai dari ayat-ayat di tengah-tengah Surat Bara’ah sedikit sekali yang melakukannya. Abul Hasan As Sakhawi telah menegaskan adanya bacaan basmalah padanya. Dan ini dibantah oleh Al Ja’bari. [vii]
KETUJUH : TIDAK DIBUTUHKAN NIAT
Membaca Al Qur’an tidak membutuhkan niat seperti dzikir-dzikir yang lain. Kecuali jika dinadzarkan diluar shalat. Maka harus diiringi dengan niat nadzar atau melakukan kewajiban. Jika dia menegaskan nadzar pada suatu masa dan dia meninggalkan niat untuk masa itu, maka tidak boleh. Ini diriwayatkan oleh Al Qomuli dalam Al Jawahir.
KEDELAPAN : MEMBACA DENGAN TARTIL
DAN TIDAK MEMBACA DENGAN SANGAT CEPAT
Disunatkan untuk membaca Al Qur’an dengan tartil. Allah berfirman :
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلاً
Dan bacalah Al Qur’an dengan benar-benar tartil“.
Abu dawud dan yang lainya meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa dia menerangkan cara Rasulullah saw membaca Al Qur’an :
قِرَاءَةُ النَّبِيِّ قِرَاءَةٌ مُفَسَّرَةٌ حَرْفًا حَرْفًا
“Bacaan yang dapat ditafsirkan, satu huruf satu huruf”.
Di dalam Shahih Bukhari dari Anas bahwa dia ditanya tentang bacaan Rasulullah saw, maka dia berkata :
كَانَتْ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَمُدُّ اللهَ وَيَمُدُّ الرّْحْمَنَ وَيَمُدُّ الرَّحِيْمَ
“Bacaannya adalah panjang. Dia membaca الرحمن الرحيم الله بسم . Dia membaca panjang pada الله , panjang pada الرحمن dan panjang pada الرحيم “.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya :
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ : إِنِّيْ أَقْرَأُ الْمُفَصَّلَ فِيْ رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ فَقَالَ هَذَا كَهَذْيِ الشِّعْرِ، إِنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيْهِمْ، وَلَكِنْ إِذَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ فَرَسَخَ فِيْهِ نَفَعَ
“Aku membaca surat-surat mufashol pada satu raka’at”. Mak dia berkata : “Dia menggigau seperti gigauan syair-syair. Sesungguhnya ada beberapa kaum yang membaca Al Qur’an yang tidak melebihi kerongkongan mereka. Tetapi jika masuk ke dalam hati dan tertanam kuat, maka akan ada manfaat padanya“.[viii]
Al Ajuri meriwayatkan dalam Kitab Hamalatul Qur’an dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata : “Berhentilah ketika ada hal-hal yang menakjubkan padanya. Dan gerakkalah hati dengannya. Dan janganlah perhatian salah seorang diantara kalian itu akhir setiap surat”.
Dan dia meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar secara marfu’ :
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ : اِقْرَأْ وَارْقِ فِي الدَّرَجَاتِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ كُنْتَ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada pembaca Al Qur’an : “bacalah, maka deraja kalian akan naik. Dan membacalah dengan tartil seperti bacaan tartilmu di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca”.
An Nawawi berkata dalam Syarah Al muhadzab : “Mereka sepakat tentang kemakruhan membaca Al qur’an dengan berlebih-lebihan cepatnya”.
Mereka berkata : “Membaca satu juz Al Qur’an dengan tartil adalah lebih baik dari pada membaca dua juz dengan waktu yang sama dengan tanpa tartil”.
Mereka berkata : “Tujuan kesunnahan untuk membaca dengan tartil adalah untuk merenungi. Dan karena itu adalah lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan dan lebih berpengaruh ke dalam hati. Karena itulah juga disunnahkan tartil bagi orang asing yang tidak memahami maknanya”.
Di dalam An Nasyr disebutkan : “Diperselisihkan apakah yang lebih utama membaca sedikit dengan tartil ataukah membaca dengan cepat dan banyak. Telah berbuat baik beberapa imam-imam kami yang berpendapat bahwa sesungguhnya bacaan dengan tartil itu lebih banyak pahalanya dan bacaan yang banyak itu lebih banyak jumlahnya, karena setiap huruf itu ditulis sepuluh kebaikan.
Di dalam Al Burhan karya Az Zarkasyi : Kesempurnaan tartil adalah dengan membaca dengan sempurna pada lafadz-lafadznya dan membaca secara jelas huruf-hurufnya dan agar setiap huruf itu tidak dimasukkan ke dalam huruf yang lain. Ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah tingkat terendahnya. Yang paling sempurna adalah dengan membacanya sebagaimana kedudukannya. Jika membaca ayat-ayat ancaman, maka dia membaca seperti itu. Dan jika dia membaca ayat-ayat tentang pengagungan, maka dia mengucapkannya demikian. [ix]
KESEMBILAN : MERENUNGI MAKNANYA
Disunahkan untuk membaca dengan merenungi dan memahami. Inilah tujuan utama dan perintah yang paling penting. Dengannya hati akan menjadi lapang dan menjadi bersinar. Allah ta’ala berfirman :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ
Kitab yang Aku turunkan kepada mereka agar mereka merenungkan ayat-ayatnya [x]
dan firmannya :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ
Apakah mereka itu tidak merenungkan Al Qur’an”[xi]
Caranya adalah dengan membuat hati sibuk memikirkan makna apa yang diucapkan, sehingga dia mengetahui makna setiap ayat, memperhatikan perintah-perintah dan larangan-larangan dan meyakini akan menerima hal itu. Jika dia merasa telah berbuat kekuarangan pada masa lalu, maka dia meminta ampun dan beristighfar. Jika melewati ayat tentang rahmat, maka dia merasa gembira dan memohon atau melewati ayat tentang siksa, maka dia merasa sedih dan meminta perlindungan atau melewati ayat tentang penyucian Allah, maka dia mensucikannya atau ayat tentang do’a, maka dia merendahkan diri dan meminta.
Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa dia berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Aku shalat bersama dengan Rasulullah saw pada suatu malam. Maka dia memulai dengan Surat Al Baqoroh, kemudian An nisa’. Kemudian dengan Surat Ali Imran. Dia membacanya dengan lepas. Jika dia melewati ayat tentang tasbih, maka dia mengucapkan tasbih. Dan jika melewati ayat permohonan, maka dia memohon. Dan jika melewati ayat tentang perlindungan, maka dia meminta perlindungan”.
Abu dawud, Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan dari Auf bin malik bahwa dia berkata :
قُمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَامَ فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلَّا وَقَفَ فَسَأَلَ وَلَا يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلَّا وَقَفَ فَتَعَوَّذَ
“Aku melakukan qiyamul lail bersama dengan Rasulullah saw pada suatu malam. Maka dia berdiri membaca Surat Al Baqoroh. Dia tidak melewati ayat tentang rahmat, kecuali dia berhendit dan memohon dan tidak melewati ayat tentang adzab, kecuali berhenti dan meminta perlindungan”.
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan hadits :
مَنْ قَرَأَ {وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ}فَقَرَأَ {أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ}، فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنْ الشَّاهِدِينَ، وَمَنْ قَرَأَ لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا : أَلَيْسَ ذلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى فَلْيَقُلْ بَلَى، وَمَنْ قَرَأَ وَالْمُرْسَلاَتِ فَبَلَغَ فَبِأَيِّ حَدِيْثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُوْنَ فَلْيَقُلْ : آمَنَّا بِاللهِ
“Barangsiapa yang membaca wattini wazzaitun sampai akhirnya, maka hendaklah berkata : “ بَلى وَأَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ ” (Ya, dan aku adalah sebagain dari orang-orang yang bersaksi terhadap hal itu). Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Qiyamah dan samapai ke akhinya : { أليس ذلك بقادر على أن يحيي الموتى } “Bukankah yang itu benar-benar mampu untuk menghidupakan orang-orang yang mati”, hendaklah dia berkata : بلى “Ya”. Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Mursalat dan sampai kepada : { فبأي حديث بعده يؤمنون } “Dan dengan perkataan mana setelah itu mereka itu beriman”, maka hendaklah dia berkata : آمنا بالله “Kami beriman kepada Allah”.
Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas
أَنّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا قَرَأَ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى
bahwa Rasulullah saw jika membaca Surat Al A’la maka dia berkata : سبحان ربي الأعلى Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi’.
Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan dari Jabir bahwa dia berkata :
خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى أَصْحَابِهِ فَقَرَأَ عَلَيْهِمْ سُوْرَةُ الرَّحْمنِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَسَكَتُوْا، فَقَالَ : لَقَدْ قَرَأْتُهَا عَلَى الْجِنِّ، فَكَانُوْا أَحْسَنَ مَرْدُوْدًا مِنْكُمْ، كُنْتُ كُلَّمَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِهِ : فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ، قَالُوْا : وَلاَ بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نَكْذِبُ، فَلَكَ الْحَمْدُ
“Rasulullah saw keluar menuju para sahabatnya. Dia membaca di hadapan mereka surat Ar Rahman dari awal sampai akhir. Mereka diam. Dia berkata : “Aku telah membacanya di hadapan para jin. Mereka itu lebih baik jawabannya daripada kalian. Setiap aku membaca firman Allah {فبأي آلاء ربكما تكذبان }: maka terhadap nikmat tuhanmu yang manakah kamu berdua mendustakan”, mereka berkata : “Tidak satu pun nikmat-Mu, Wahai Tuhan kami yang kami dustakan. Segala puji adalah mulik-Mu”.
Ibnu Mardawaih, Dailami, Ibnu Abid Dunya dalam Bab tentang do’a dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang sangat dla’if dari Jabir bahwa Rasulullah saw membaca firman Allah : [xii] { وإذا سألك عبادي عني فإني قريب } Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah Aku dekat“. [xiii] al ayat. Maka dia berkata : “Ya Allah. Engakau menyuruh untuk berdo’a dan engkau menjamin akan dikabulkan. Aku penuhi panggilan-Mu, Ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan nikmat itu adalah milik-Mu. Dan kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau adalah satu sebagai tempat bergantung. Engaku tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang menanding-Mu. Dan aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar. Surga itu benar. Neraka itu benar. Hari kiamat itu akan datang, tidak ada keraguan di dalamnya dan Engkau akan membangunkan orang-orang dari kubur”.
Abu dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Wail bin Hajar bahwa dia berkata :
سَمِعْتُ النَّبِيَّ قَرَأَ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ آمِيْن، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ
“Aku mendengar Rasulullah saw membaca : “ ولا الضالين “, maka dia berkata : آمين . Dia memanjangkan suaranya.
Thabrani meriwayatkan dengan lafadz : Dia berkata آمين “. tiga kali. Dan Baihaqi meriwayatkannya dengan lafadz : Dia berkata : “ آمين رب اغفرلي (Ya Allah ampunilah aku. Aamiin).
Abu Ubaid meriwayatkan dari Abu Maisaroh bahwa Jibril mengajari Rasulullah saw ketika membaca akhir Surat Al baqoroh : “ آمين “.
Dan dia meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw jika menghatamkan Surat Al Baqoroh, dia berkata : ” آمين “.
An Nawawi berkata : “Termasuk diantara adab, ketika dia membaca ayat seperti [xiv]{ وقالت اليهود عزيرا بن الله }Dan orang-orang Yahudi berkata bahwa Uzair itu adalah anakAllah”[xv]. Dan seperti firman Allah : { وقالت اليهود يد لله مغلولة } [xvi] (Dan orang-orang Yahudi berkata : “Tangan Allah itu terbelengu)[xvii] agar dia merendahkan suaranya. Demikianlah yang dilakukan oleh An Nakho’i.
KESEPULUH : MENGULANGI-ULANG BEBERAPA AYAT
Tidak apa-apa untuk mengulang-ulang satu ayat. Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw berdiri membaca satu ayat mengulang-ulangnya sampai pagi, yaitu fimran Allah : { إن تعبهم فإنهم عبادك } [xviii] (Jika Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu).[xix]
KESEBELAS : BERUSAHA MENANGIS
Disunahkan untuk menangis ketika membaca Al Qur’an dan berusaha untuk menangis bagi orang yang tidak mampu menangis, bersedih dan khusuk. Allah berfirman {وَيَخِرُّوْنَ للأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ }[xx]
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada hadits tentang bacaan Ibnu Mas’ud dari Rasulullah saw dan di dalamnya disebutkan :
فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرُفَانِ
“Maka tiba-tiba dari kedua matanya mengalir air mata”.
Di dalam Sya’bul Iman karya Baihaqi dari Sa’ad bin Malik secara marfu’ :
إِنَّ هذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ وَكَآبَةٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوْهُ فَابْكُوْا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا
“Sesungguhnya Al Qur’an itu diturunkan dengan kesedihan. Maka jika kalian membacanya, maka menagislah dan jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis”.
Dan di dalamnya dari hadits mursal Abdul Malik bin Umair bahwa Rasulullah saw berkata : “Aku membaca satu surat di hadapan kalian. Maka barangsiapa yang menangis, maka dia akan mendapatkan surga. Dan jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis”.
Di dalam musnad Abu Ya’la ada sebuah hadits :
اِقْرَؤُوا الْقُرْآنَ بِالْحُزْنِ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ
“Bacalah Al Qur’an dengan kesedihan. Sesungguhnya Al Qur’an itu turun dengan kesedihan”.
Menurut riwayat Thabrani : “Manusia yang paling baik bacaannya adalah orang yang jika membaca Al Qur’an, maka dia akan berusaha untuk bersedih”.
Dikatakan dalam Syarah Muhadzab : “Cara agar bisa menangis adalah dengan memperhatikan ancaman-ancaman yang dibacanya, perjanjian-perjanjian yang ada di dalamnya. Kemudian dia memikirkan kekuarangannya pada hal-hal itu. Jika pada waktu memikirkan hal itu dia masih tidak dapat bersedih dan menangis, maka hendaklah dia menangis karena tidak dapat melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu adalah termasuk musibah”.

0 comments:

Post a Comment