Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kebenarannya. Allah Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membebaskan manusia dari kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Para sahabat merupakan orang-orang yang selalu bersemangat untuk mendapatkan pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka selalu ingin menghafal dan memahami Al-Qur’an, karena dengan menghafal dan memahami Al-Qur’an merupakan suatu kehormatan bagi mereka.
Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkan dan menegakkan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Abu Abdirrahman As-Sulami meriwayatkan bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.” (HR. Abdurrazaq dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
Khalifah Utsman bin Affan membuat suatu terobosan baru untuk menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini merupakan awal munculnya ilmu penulisan rasm Al-Qur’an.
Kemudian, Khalifah Ali bin Thalib menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk mengagas kaidah nahwu demi menghindari adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu I’rab Al-Qur’an.
Di antara para ahli tafsir dikalangan sahabat nabi adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
Adapun dikalangan para tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari para sahabat, dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup terkenal yaitu Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus, dan Atha’ bin Rabah.
Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
Di Irak terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai ahli tafsir. Mereka seperti Alqamah bin Qais, Masruq bin Al-Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah.
Menurut Ibnu Taimiyah, ada beberapa orang yang terkemuka dalam bidang tafsir di Makkah. Mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas seperti Mujahid, Atha’ bin Rabah, Ikrimah, Thawus, Sa’id bin Jubair, dll. Sedangkan ulama tafsir di Madinah seperti Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), Abdurrahman bin Zaid, dan Abdullah bin Wahab.
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup ilmu tafsir, ilmu gharib Al-Qur’an, ilmu asbab an-nuzul, ilmu Makkiyah-Madaniyah, dan ilmu nasikh-mansukh. Tetapi semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).
Abad kedua Hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat, atau tabi’in.
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu diantaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (wafat 197 H). Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama tersebut pada dasarnya adalah ulama hadits.
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al-Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui dengan proses kodifikasi namun masih masuk dalam bab-bab hadits. Kemudian muncul tafsir bil matsur (yang menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, serta perkataan para sahabat, dan salafush shalih) dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).
Dalam ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yan berkaitan dnegan tafsir Al-Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir. Ali bin Madini, guru Imam Bukhari (wafat 234 H) menulis tentang asbab an-nuzul. Abu Ubaid bin Al-Qasim bin Sallam (wafat 224 H) melahirkan karya tentang nasikh dan masukh serta masalah qiraat. Ibnu Qutaibah (wafat 275 H) menulis masalah problema Al-Qur’an (Musykil Al-Qur’an). Mereka merupakan para ulama abad ketiga Hijriah.
Pada abad keempat Hijriah, tidak sedikit ulama yang menulis tentang masalah terkait, Muhammad bin Khalaf bin Al-Marzuban (wafat 309 H) menulis sebuah kitab Al-Hawi fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Ambari (wafat 309 H) menulis kitab ‘Ulum Al-Qur’an, dan Muhammad bin Ali Al-Afidi (wafat 388 H) menulis kitab Al-Istighna fi ‘Ulum Al-Qur’an. Kemudian banyak karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin ilmu Al-Qur’an.
Sedangkan definis dari ‘Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an seperti pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, dll.
Terkadang, ‘ulumul Qur’an disebut sebagai ushul at-tafsir karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sumber:
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Syaikh Manna Al-Qaththan: Pustaka Al-Kautsar
0 comments:
Post a Comment